oleh

Alkisah Gajah Mada Tewas di Kerajaan Aceh Tamiang

Aceh – Detik Bhayangkara.com

Aceh kaya dengan kisah yang melegenda, kisah rakyat banyak yang belum tertulis dan atau diketahui secara meluas. Dalam kisah kisah yang dituturkan oleh rakyat umumnya sarat makna sebagai cerminan filosofi kehidupan mereka.

 

Demikian juga halnya dengan asal usul negeri Tamiang dan bagaimana perseteruan antara Raja dengan pasukan Maja Pahit dan terkoneksi dengan kabar Putri Raja yang jelita, akankah menjadi pertimbangan spesifik pasukan Gajah Mada, itulah hal terusik dan menelusuri legenda ini.

Tamiang pada awalnya merupakan satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan seorang Raja Muda Setia yang memerintah selama tahun 1330 – 1366 M. Pada masa kerajaan tersebut wilayah Tamiang dibatasi oleh daerah-daerah :

  1. Sungai Raya / Selat Malaka di bagian Utara
  2. Besitang di bagian Selatan
  3. Selat Malaka di bagianTimur
  4. Gunung Segama ( gunung Bendahara / Wilhelmina   Gebergte ) di bagian Barat.

Asal usul Tamiang 
“Tamiang” adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari “Te – Miyang” yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang bulooh) dan Raja ketika itu bernama Tamiang Pehok lalu mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar Pucook Sulooh Raja Te – Miyang, yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal.

Sumber lain, mengapa dikatakan -Tamiang- karena raja pertama tersebut memiliki pipi yang sebelah hitam yang disebabkan oleh miyang bambu (rumpun bambu yang gatal). Jadi “Tam” berarti hitam dan “Miyang” berarti rumpun bambu. Maka dijadikanlah sejarah nama daerah tersebut dengan nama “Tamiang”.

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan Raja Muda Setia wafat. Alkisah menceritakan, ketika musuh memasuki wilayah kerajaan. Raja sedang asyik bermain cantur dengan istrinya. Tidak lama dari itu, burung beo selaku hewan kesayangan Raja menginformasikan bahwa ada pihak musuh yang mendekat. Berhubung Raja merasa sudah memperkuat barisan pertahanan pintu masuk, maka sedikitpun tidak ada kecemasan mengingat laporan apapun belum didengar dari para pasukan terpercayanya. Sehingga perkataan seekor hewan diacuhkan kendatipun sang istri telah mengingatkan.

Melalui tokoh hebat pada masa itu, musuh masuk melalui jalur yang tidak disangka-sangka. Yakni jalur rimba yang tak mungkin dilalui oleh orang sembarangan. Mereka melakukan perjalanan menggunakan perahu yang berjalan didaratan. Tampak perahu yang mendekat pada istana membuat jalan yang dilintasinya terbelah dan berubah menjadi sungai. Mungkin inilah asal mula sungai Tamiang khususnya yang berhaluan di Desa Benua Raja.

Dengan memasukkan istrinya ke dalam kendi kecil seukuran kantung. Raja Muda Sedia beserta Permaisuri Potuan Suri Meuru Meligai dan beberapa pengawal berhasil menyelamatkan diri berlayar kearah hulu sungai di kaki Gunung Senggama dengan menggunakan daun keladi sebagai perahu yang juga melaju didaratan. Tapak keladi itu menjadi anak sungai yang menjadi bukti nyata bahwa sang Raja memang berada didaerah tersebut.

Putri Raja yang Jelita dan Madja Pahit 

Raja Tamiang memiliki seorang putri yang sangat cantik permai. Dialah yang bernama Potuan Putri Meuga Gema yang lebih dikenal dengan Putri Rindu Bulan. Pesona kecantikannya mampu membuat siapa saja lupa akan indahnya rembulan. Sehingga wajarlah jika julukan Lindung Bulan melekat padanya. Dikemudian hari nama itu dinobatkan menjadi SMU Negeri 1 Kejuruan Muda dengan nama SMU Lindung Bulan yang terletak di Kampung Durian Kecamatan Rantau Aceh Tamiang.

Putri Rindu Bulan yang dikabarkan akan ditunangkan dengan pangeran kerajaan Perlak menjadi sorotan raja-raja dibeberapa kerajaan untuk mempersunting tak terkecuali Patih kerajaan Maja Pahit yang dikenal dengan sumpah palapanya, Gadjah Mada.
Menurut lisan leluhur, sebab umum pasukan Maja Pahit yang memasuki kawasan Aceh Tamiang dikarenakan panglima tersebut hendak mempersatukan Nusantara hingga rela tak mengkonsumsi buah kelapa. Namun dibalik itu ternyata sebab khususnya adalah karena lelaki yang dipercaya sebagai pemersatu bangsa itu terpikat atas keindahan dan kecantikan putri bungsu Raja Muda Sedia yaitu Putri Lindung Bulan untuk dijadikan hadiah bagi sang raja, Prabu Hayam Wuruk.

Alkisah disuatu masa setelah Gadjah mada mengucapkan Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara, maka Gadjah Mada beserta pasukan kerajaan Maja pahit yang jumlah nya ribuan menyerbu raja-raja yang berkisar kepulauan Jawa. Setelah puas dengan kemenangannya maka Madja Pahit segera menyebar ke kawasan pulau sumatera dan pulau-pulau lainnya, saat itu hampir keseluruhan pulau sumatra dikuasai oleh kerajaan Aceh, yang menaungi kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Satu persatu kerjaan dari palembang, padang tumbang dihancurkan dan ditaklukkan oleh sang Panglima Gajah Mada. Suatu hari tibalah pertarungan oleh Pasukan kerjaan Maja Pahit dengan Pasukan kesultanan Deli, namun kesultanan Deli tidak mampu bertahan lama dan akhirnya juga takluk.

Pasukan Gajah Mada terus menjelajah, selanjutnya penyerangan itu berlanjut ke Tamiang dengan berpangkalan di daerah Manyak Payet. Penyerangan berawal ketika Putri Bungsu Lindung Bulan yang kecantikannya luar biasa itu tersiar ketelinga Patih Gajah Mada. Karena pinangan itu ditolak oleh Raja Muda Sedia, Gajah Mada merasa tersinggung lalu menyerang Karajaan Benua Tamiang.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dikirimlah seorang utusan ke kuta radja untuk meminta bantuan bala tentara. Sultan Aceh menyetujui mobilisasi pasukan khas didampingi oleh 7 panglima perang yang kononnya punya ilmu kebal. Selang bebarapa minggu berhadapanlah pasukan Gajah Mada dengan pasukan Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Hantom Manoe. Hantom Manoe bukanlah nama aslinya, melainkan nama yang diambil dari kata hana mano sebab panglima tersebut dilarang mandi guna menjaga kekebalan tubuhnya.

Perang berkecamuk dengan hebatnya selama tujuh hari tujuh malam, dan akhirnya Gadjah Mada terbunuh ditikam oleh panglima Kerjaaan Aceh. Dan pasukan kerajaan Maja Pahit mundur teratur untuk balik ke kampungnya dan meratapi kesedihan akibat kekalahan. Untuk mengenang kemenangan kerajaan aceh terhadap pasukan Gadjah Mada dari kerajaan Maja Pahit tersebut, maka kampung/ lokasi tempat pertempuran di daerah Aceh Tamiang tersebut dinamakan menjadi kampung Manyak Pahit, adobsi dari nama kerajaan Maja Pahit. Kampung ini sampai sekarang masih ada di Aceh Tamiang tidak jauh dari kampung Pahlawan kecamatan Karang Baru.

Maja Pahit diambil dari buah maja yang pahit, namun oleh panglima kerajaan aceh kawasan tersebut dipelesetkan menjadi Manyak Pahet, yang artinya anak kecil yang pahit. Mungkin cuma untuk menunjukkan bahawa Gadjah Mada dan pasukannya terhenti di Kawasan ini, ataupun mungkin karena dialek orang Aceh yang kesusahan untuk mengucakan kata-kata Maja Pahit secara fasih dan akhirnya menjadi Manyak Pahet.
Pada cerita rakyat pada umumnya, Gadjah mada menghilang karena menuju Nirwana (terbang kesurga akibat bertapa dan menjadi dewa) namun hal tersebut menurut pengalaman lisan leluhur Aceh Tamiang; merupakan kedok dari pasukan Gadjah Mada untuk menjaga moral dan nama baik agar tetap tinggi dan tidak malu akibat gagalnya Gadjah Mada memenuhi sumpah Palapa.

Tentang kebenaran cerita tersebut, siapa yang tahu jika tidak dilakukan penelitian sejarah secara lebih lanjut. Namun mendengar nama Desa Manyak Pahet dan hikayat cerita masyarakat disekitara kawasan sekiranya memang hal tersebut benar adanya. Namun sejarah Indonesia tidak pernah menceritakan apapun tentang tewasnya Gajah Mada di Kerajaan Aceh Tamiang. Yang ada hanya semangat dan sumpah palapa seorang patih Hayam Wuruk tersebut sebagai oknum yang dianggap pemersatu Nusantara. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed