oleh

Bahasa Jurnalistik di Media “Online”

-artikel-1,478 views

Oleh: Yunanto

Bahasa menunjukkan bangsa. Demikian pepatah yang bermakna meninggikan eksistensi bahasa. Etika dan estetika yang terkandung dalam bahasa suatu bangsa, menunjukkan eksistensi dan “kualitas” bangsa dimaksud.

Begitu pula semestinya hakikat bahasa dalam jagat wartawan. Kualitas Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ) sebuah karya jurnalistik menunjukkan mutu wartawannya. Pendek kata, “kelas” wartawan setara dengan bobot mutu BIJ dalam karya jurnalistiknya. Pasti, karena kata-kata adalah “senjata” wartawan.

Karya jurnalistik yang etika dan estetika BIJ-nya buruk, tentu sulit dicerna dan tidak enak dibaca. Mengecewakan sekaligus “merugikan” khalayak komunukan medianya. Bahkan kerap pula “menjerumuskan” komunikannya dalam memaknai isi warta.

Slogan ideal “wartawan turut serta mencerdaskan kehudupan bangsa”, menjadi mustahil dikonkretkan. Bagaimana bisa mencerdaskan dengan BIJ yang boyak (rusak, tidak beraturan)? Lebih menyedihkan bila ada penilaian sumbang, “wartawan perusak bahasa”.

Abai Kaidah
Nyaris setiap hari saya membaca karya jurnalistik di sejumlah media massa. Terbanyak di media online atau media daring (dalam jaringan). Saya simak di beberapa grup WA. Karya jurnalistik dimaksud 99 persen berbentuk berita langsung. Lazim disebut straight news.

Tanpa niat menghakimi, tanpa minat menggurui, saya sebagai komunikan media daring hanya kerap prihatin. Hal pertama yang sangat memprihatinkan adalah kaidah BIJ yang diabaikan. Berikutnya, “menabrak” etika ber-BIJ dan “miskin” estetika ber-BIJ.

Bahasa Indonesia yang digunakan wartawan berbeda dengan bahasa Indonesia di luar jagat publisistik praktika (jurnalistik). Ada sejumlah ciri khas dari penggunaan bahasa Indonesia pada umumnya (di luar jurnalistik).

Khusus dari aspek kaidah BIJ, sungguh mencolok tindakan abai terhadap kaidah: (1) singkat, (2) lugas, (3) logis, (4) taat asas kata baku, (5) mudah dicerna, dan (6) enak dibaca.

Aspek etika BIJ yang “ditabrak” kerap terjadi di penggunaan kalimat aktif dan kalimat pasif. Kesalahan penulisan kalimat langsung dan kalimat tidak langsung. Logika makna kata dan kalimat pun menjadi kacau balau.
Kata sambung (dan, dengan, yang, dari, daripada, karena, sebab) di judul berita kerap ditulis dengan awal huruh besar (kapital). Sekilas memang sepele, tapi fatal.

Kecenderungan “obral” kata-kata masih sangat kuat. Teknik penulisan juga tidak menerapkan asas penulisan paragraf secara baik, tertib dan runtun. Pertautan antar-paragraf harus serupa mata rantai yang saling berkait. Tak boleh putus.

Belum lagi penggunaan tanda-tanda baca berupa tanda titik, koma, titik koma, titik dua, tanda antara, tanda seru dan tanda tanya. Kesalahan penggunaan tanda-tanda baca juga terjadi pada penulisan gelar sarjana. Di depan maupun di belakang nama.

Kesalahan yang juga mencolok terjadi pada penulisan kata sandang (Pak, Bu, Bapak, Ibu, Bung, Anda) tidak ditulis dengan awal huruf kapital. Lebih parah, penggunaan kata ganti “Beliau” di kalimat tidak langsung. Mungkin lupa, bahwa BIJ tidak mengenal strata (kasta) sosial. Kata ganti presiden sekalipun cukup “ia” atau “dia”. Kecuali dalam kalimat langsung ( _quotation lead_).

“Kemiskinan” estetika dalam ber-BIJ juga mencolok dengan kerapnya menuliskan “who” dan predikatnya secara berulang-ulang dan sama. “Kemiskinan” estetika ini identik dengan “kemiskinan” perbendaharaan kata. Komunikan media tidak mendapatkan tambahan pengetahuan (informasi) sedikit pun ihwal rekam jejak “who” dimaksud.

Tak pelak lagi, setiap jurnalis idealnya memiliki bank data tenteng “who” yang kerap menjadi sumber bahan berita. Lebih bagus bila bank data dimaksud juga berisi tentang elemen “what” per jenis peristiwa yang telah terjadi. Sempurna bila dilengkapi data ihwal “why” dan “how” di balik “what” dan “who” per jenis peristiwa.

Indahkan Kaidah
Sekali lagi, bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa jurnalistik menunjukkan “kelas” kewartawanannya. Sungguh elok jika setiap insan jurnalis tiada berkesudahan meningkatkan mutu BIJ dalam karya jurnalistiknya. Solusinya hanya belajar dan terus belajar.

Hal mendasar, belajar mengindahkan kaidah ber-BIJ. Pertama, berbahasa singkat, tidak bertele-tele, tapi tidak mengubah makna kata dalam kalimat. Contoh, tidak menuliskan kata “hari” di depan kata Senin, Selasa, Rabu dst. Tidak menuliskan kata “tanggal” di depan kata 28 Juli 2019 atau 28/7/2029 dst.

Kedua, berbahasa lugas. Tidak membiaskan topik, tapi langsung menukik pada sasaran yang hendak ditulis. Misal, topik tentang peristiwa pidana penggelapan dalam jabatan (Pasal 374 KUHP). Fokus saja ke perkara tindak pidana umum (pidum) itu. Jangan dibiaskan ke tindak pidana khusus (pidsus) korupsi, kendati penggelapan dalam jabatan.

Ketiga, berbahasa logis yang berarti masuk akal dan faktual (sesuai dengan fakta). Misal, “Massa warga yang marah mendatangi Kantor Kecamatan Kepanjen dan berlanjut ke Kantor Kabupaten Malang”.

Kalimat tersebut tidak logis. “Kecamatan” dan “Kabupaten” itu sebutan suatu wilayah. Bukan kata ganti manusia, sehingga tidak logis bila punya kantor. Tentu, yang punya kantor adalah manusia berpredikat “Camat” dan “Bupati”. Maka logis dan faktualnya haruslah “Kantor Camat Kepanjen” dan “Kantor Bupati Malang”.

Keempat, taat penggunaan kata baku bahasa Indonesia. Misal, kata “tahu” kerap ditulis tanpa huruf “h” (tau). Sederet kata baku yang masih salah tulis: sekadar (ditulis sekedar), apotek (apotik), konkret (konkrit), antre (antri), kuitansi (kwitansi), kualitas (kwalitas). Masih banyak lagi kesalahan serupa.

Andai empat kaidah tersebut diindahkan, maka kaidah kelima (mudah dicerna) dan keenam (enak dibaca) menjadi lebih mudah dihadirkan. Tentu saja, harus digenapi dengan langkah mengindahkan etika dan estetika berbahasa jurnalistik. ( ☆ )

 

Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982 – 2002.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed