oleh

Wartawan Bermutu atau Tidak, Itu Pilihan

-artikel-1,495 views

 

Oleh: Yunanto

“Kewartawanan adalah suatu cara terbaik menyampaikan cita-cita. Suatu cara membawa kebenaran pada dunia. Itulah sebabnya saya ingin menjadi wartawan besar. Suatu cara mulia melayani kemanusiaan,” tulis Harold Robin dalam bukunya berjudul “79 Park Avenue”.

Buku laris tersebut ditulis 40-an tahun silam. Harold Robin memang penulis novel dengan banyak penggemar di dunia. Penuturannya sederhana. Struktur tata bahasanya mudah dicerna, enak dibaca. Memikat minat baca khalayak.

Jauh sebelum buku “79 Park Avenue” terbit, Thomas Jefferson telah menggemakan peran khas media massa. Pers, menurut Thomas Jefferson, adalah suatu alat memerangi pikiran dari pemikiran dan memperbaikinya secara masuk akal.

Bila dua pandangan tersebut diringkas, ada empat hal ideal bagi seorang wartawan. Rincinya, (1) tiada henti mencari kebenaran, (2) menghadapi zaman yang berubah tak sampai kewalahan, (3) memberikan pelayanan kepada sesama manusia, dan (4) memelihara independen diri secara utuh.

Wejangan Rosihan
Tokoh pers nasional, H. Rosihan Anwar juga menghadirkan wejangan penting, 60-an tahun silam (1959). Nasihat almarhum Eyang Haji Rosihan Anwar saya baca di buku “Lima Tahun Hadiah Adinegoro” (1979).

“Wartawan yang benar dengan sendirinya mempunyai jiwa pencari, akal pemeriksa. Ia (wartawan) ingin mengetahui cukup tentang ilmu pengetahuan untuk memahami Sang Sarjana. Ia ingin tahu cukup tetang ekonomi. Ia juga ingin mengetahui tentang kesenian dan aneka ragam pekerjaan,” tulis Eyang Rosihan.

“Hal yang penting bagi wartawan, gemar membaca buku-buku kesusasteraan besar. Maksudnya, agar ia tahu apa yang telah dipikirkan oleh manusia. Gemar membaca juga membantu untuk memperbaiki gaya bahasa. Ia patut mempelajari bahasa secara baik. Tentulah ia harus juga belajar sejarah guna memahami bangsanya sendiri dan berbagai peristiwa di dunia,” urai sesepuh pers nasional itu.

Eyang Rosihan juga menuliskan pesan, “Seorang wartawan harus membaca banyak hal dan luas. Ia perlu cepat memilih apa yang harus disaringnya dari apa yang telah dibacanya. Ia harus mempunyai minat dan perhatian yang tiada padam, sebab hanya itulah pedoman paling pasti dari studi yang menguntungkan.”

“Adalah vital bagi wartawan untuk mengetahui sesuatu secara baik. Menggali ke dalam suatu masalah untuk menemukan rangkaian hubungan dengan bidang-bidang lain. Hubungan-hubungan itulah mungkin yang paling penting bagi wartawan untuk dimengerti,” demikian nasihat sesepuh pers nasional itu.

Nasihat Eyang Haji Rosihan Anwar jika diringkas, membuahkan syarat wartawan yang baik. Detilnya, (1) penguasaan bahasa, (2) pengetahuan tentang jiwa kemanusiaan, (3) mempunyai pengetahuan yang cukup luas karena gemar membaca, (4) kematangan pikiran, dan (5) ketajaman pikiran atau cerdas.

Pilihan Kita
We are our choices (Kita adalah pilihan-pilihan kita),” kata Jean-Paul Sartre. Maknanya, kita menjadi seperti yang kita pilih.

Menjadi pemarah atau penyabar adalah pilihan kita. Menjadi terlalu sensitif atau berlapang dada, itu pun karena pilihan kita. Kita mudah tersinggung jika kita memilih untuk mudah tersinggung. Kita bisa selalu penuh maklum jika kita sungguh memilih untuk selalu penuh maklum.

Demikian pula halnya sosok wartawan, andai kita wartawan. Menjadi wartawan bermutu baik adalah pilihan kita. Menjadi wartawan yang cepat berpuas diri pun pilihan kita. Enggan membiasakan diri gemar membaca agar wawasan kian luas juga pilihan kita. Hadir sebagai wartawan “apa adanya” tanpa perduli pada mutu karya jurnalistik, itu pun pilihan kita.

Saya meyakini, tidak harus berpendidikan formal tinggi untuk menjadi wartawan berkualitas prima. Galibnya, tidak harus sarjana. Semua berpulang pada pilihan kita sendiri. Memilih mau terus-menerus belajar tiada henti, atau berhenti belajar. Hanya itu kunci suksesnya jika berkehendak lahir menjadi wartawan kompeten.

Banyak contoh ihwal faktual pendidikan formal dan kompetensi wartawan. Sebut saja Parada Harahap (almarhum). Tamat SD pun tidak, namun ia sukses menjadi wartawan besar dalam tiga zaman. Zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman Indonesia merdeka.

Luar biasa. Parada Harahap menerbitkan surat kabar sendiri. Memegang manajemen bidang redaksi dan bidang perusahaan, sekaligus. Namun ingat, Pak Parada bukannya tidak belajar. Hanya tidak di dalam ruang kelas, memang.

Sungguh, Pak Parada belajar sendiri (otodidak). Belajar dari buku-buku. Belajar pada para senior. Belajar pula pada masyarakat di eranya. Siang-malam tekun belajar. Diterapkan, dipraktikkan, jatuh-bangun, terus belajar.

Orang heran saat Akademi Wartawan berdiri di Jakarta, 1950. Bermodel kuliah tertulis. Setahun kemudian baru kuliah di dalam ruang kelas. Itulah pendidikan tinggi pertama di Indonesia tentang kewartawanan.

Tambah heran lagi publik, setelah tahu pendiri dan pemimpin Akademi Wartawan itu adalah seorang wartawan yang “dilahirkan”, yaitu Parada Harahap. Ia memberikan kuliah umum perdana saat pembukaan akademi tersebut.

Dua tahun kemudian, tepatnya 5 Desember 1953, akademi yang didirikan Parada Harahap tersebut naik status menjadi Perguruan Tinggi Jurnalistik. Diperkuat sederet tokoh pers nasional era itu sebagai dosen. Mereka, antara lain, Djamaludin Adinegoro dan M. Tabrani, dua tokoh pers alumni publisistik di Jerman.

Perguruan tinggi kewartawanan di Jakarta yang didirikan seorang jebolan SD, Parada Harahap, itu terus berkembang. Berubah nama menjadi Perguruan Tinggi Publisistik, 1960. Enambelas tahun kemudian, 1976, menjadi Sekolah Tinggi Publisistik.

Kisah sukses Parada Harahap saya tulis di ekor artikel ini dengan maksud memotivasi kalangan wartawan muda, jurnalis yunior. Intinya, tidak layak minder, tidak patut malas belajar. Menjadi jurnalis bermutu, wartawan kompeten, sesungguhnya adalah pilihan. (☆)

Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed