Oleh: Yunanto
Tidak semua peristiwa layak diberitakan. Tidak semua orang layak diwawancarai dan/atau dimintai konfirmasi sebagai narasumber. Tidak semua peristiwa dan narasumber bermuatan (baca: memiliki) nilai berita.
Itulah hakikat kelayakan publikasi. Maka, sekurang-kurangnya ada tiga kelayakan publikasi atas suatu peristiwa. Apa pun peristiwanya. Rincinya: (1) kelayakan peristiwa, (2) kelayakan narasumber, (3) kelayakan nilai berita.
Setiap kelayakan publikasi ada parameternya (alat ukurnya). Parameter dimaksud, hukum positif (UU Pers, UU ITE dan UU lain), serta etika berkarya jurnalistik (Kode Etik Jurnalistik).
Parameter tersebut masih harus disempurnakan dengan estetika dalam publisistik praktika. Targetnya, agar karya jurnalistik memikat khalayak komunikan media dan enak dibaca hingga tuntas.
Nilai Berita
Tinggi-rendah nilai berita sebenarnya sudah bisa diprediksi dan dikalkulasi sejak masih berwujud bahan berita. Alat ukur untuk menentukan bobot nilai berita itu pun berkaitan dengan kelayakan publikasi.
Alat ukur pembobotan nilai berita sekurang-kurangnya ada empat item. Rincinya: (1) NKA/nilai kadar aktualitas, ini terkait dengan elemen “when”; (2) proximity yang berarti jarak antara lokasi peristiwa dengan lokasi mayoritas komunikan media, ini terkait dengan elemen “where”; (3) kelengkapan elemen bahan berita, ini terkait dengan 5W + H; dan (4) kegunaan atau manfaat publikasi berita tersebut bagi sebanyak-banyaknya komunikan media.
Empat poin parameter itulah yang selanjutnya harus diintegrasikan (dimasukkan) sebagai “elemen penguji” kelayakan publilasi bahan berita dalam proses mengolah menjadi naskah berita “pressklaar” (siap tayang). Maka, dalam publisistik praktika yang ideal, tidak semua bahan berita langsung “dicaplok mentah-mentah” dan dipublikasikan. Pasti sangat riskan salah dari berbagai aspek.
Kajian atas kelayakan publikasi dan pembobotan nilai berita, belumlah cukup. Maknanya, belum cukup untuk memutuskan suatu bahan berita layak atau tidak layak “ditingkatkan” (diolah) menjadi naskah berita, selanjutnya dipublikasikan. Ada satu kajian lagi yang patut dilakukan, yakni kajian atas bobot akurasi fakta di dalam bahan berita.
Ragam Fakta
Dalam publisistik praktika (baca: jurnalistik) sesungguhnya hanya ada tiga fakta yang terkandung dalam bahan berita.
Pertama, fakta peristiwa. Contoh, massa terdiri atas puluhan mahasiswa berjalan kaki dari satu titik ke titik tujuan di kawasan jantung kota. Aksi unjuk rasa yang kasat mata itulah disebut fakta peristiwa.
Kedua, fakta pendapat. Contoh, koordinator aksi massa yang berunjuk rasa mengatakan (berorasi) tentang tuntutannya. Pihak aparat keamanan mengatakan aksi unjuk rasa tidak boleh mengganggu hak orang lain. Pihak yang didemo pun mengatakan (menanggapi) tuntutan demonstran. Perkataan-perkataan itulah disebut fakta pendapat.
Ketiga, fakta peristiwa dan fakta pendapat. Konkretnya berupa gabungan aneka fakta peristiwa dan aneka fakta pendapat. Fakta ketiga inilah yang lazim ada dalam menyusun bahan berita. Selanjutnya diolah menjadi naskah berita “pressklaar”.
Cukupkah? Belum, bila naskah berita dihajatkan bernilai berita tinggi. Galibnya, naskah berita masih harus dilengkapi data ihwal fakta peristiwa dan fakta pendapat yang sama atau serupa. Itulah sebabnya setiap jurnalis/redaksi media idealnya memiliki bank data.
Misal, di bank data jurnalis/redaksi ternyata ada catatan ihwal unjuk rasa setahun lalu yang fakta peristiwa dan fakta pendapatnya sama atau nyaris sama. Maka catatan di bank data tersebut disajikan lagi sebagai kilas balik dalam naskah berita terbaru. Informasi yang diterima khalayak komunikan media menjadi kian lengkap dan luas.
Aroma SARA
Kelayakan publikasi, bobot nilai berita dan kandungan akurasi fakta, belum pula cukup untuk memutuskan suatu naskah berita layak dipublikasikan atau tidak.
Harus diingat, kebebasan pers bukan berarti bebas tanpa tanggung jawab. Kebebasan pers justru harus bertanggung jawab. Di situlah etika berjurnalistik “diatur” dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Terlebih bila terkait dengan peristiwa yang “patut dapat diduga” bermuatan SARA (suku, agama, ras, antar-golongan).
Ihwal SARA itu tegas diamanatkan di Pasal 8 KEJ. Selengkapnya berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”
Konklusinya, meski naskah berita bernilai berita tinggi, bahkan muatan kadar faktanya pun sangat akurat, namun bila “menabrak” Pasal 8 KEJ tersebut menjadi tidak layak publikasi. Tidak patut diberitakan.
Publikasi atas fakta peristiwa dan fakta pendapat yang “patut dapat diduga” malah berpotensi melahirkan masalah serius, tentu menjadi tidak layak publikasi. “Masalah serius” dimaksud, antara lain, terkoyaknya kamtibmas, rusaknya kerukunan antar-anak bangsa, dan munculnya aksi anarkhis sebagai dampak ikutan.
Jurnalis harus mafhum perihal tersebut. Pasalnya, jurnalis juga wajib menjadi “penjaga gawang” keutuhan dan kedaulatan NKRI. (☆)
Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002.
Komentar