oleh

Selamat Jalan “Bapak Kemerdekaan Pers”

-artikel-1,739 views

Oleh: Yunanto

Sepekan setelah 21 Mei 1998 Presiden Soeharto “turun tahta”, peristiwa di bawah ini terjadi. Puluhan wartawan bergerak ke gedung Departemen Penerangan (Deppen) di jantung Jakarta. Mereka hendak menemui Menteri Penerangan (Menpen), Jenderal TNI M. Yunus Yosfiah.

Tujuan puluhan wartawan berdemonstrasi kala itu, intinya menuntut kemerdekaan pers. Menpen Yunus Yosfiah dengan lapang dada menemui mereka. Ada sejumlah tuntutan diajukan. Hal yang diutamakan pendemo, Undang-undang Pers produk Orde Baru direvisi, dan ketentuan wajib ber-SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) ditiadakan.

Argumentasi logis pun dikumandangkan. “Tidak ada demokrasi tanpa kemerdekaan pers!” itulah obsesi perjuangan yang dipekikkan. Bredel, pelarangan penyiaran, penutupan paksa usaha penerbitan pers, adalah wujud konkret dari “pembantaian” terhadap kemerdekaan pers. Pencabutan atau pembatalan SIUPP hanyalah eufemisme (penghalusan istilah) dari bredel.

Menpen Yunus Yosfiah menampung aspirasi puluhan wartawan yang berunjuk rasa di kantornya. Sebagai pembantu presiden, aspirasi demonstran itu pun ia teruskan kepada Presiden BJ Habibie. Lantas, terjadilah hal yang “mengejutkan” insan pers kala itu. Presiden ke-3 Republik Indonesia ternyata sependapat dengan Menpen. UU Pers No. 21/ Tahun 1982 memang harus direvisi. Ketentuan tentang SIUPP pun harus dicabut.

Sejak saat itu segala upaya menghadirkan kebesan pers digelorakan oleh insan pers. Optimisme perjuangan tersebut bakal membuahkan hasil, sangat besar. Pasalnya, sepak terjang kebijakan Presiden BJ Habibie yang berkorelasi dengan demokrasi, nampak sangat nyata. Kasat mata.

Galibnya optimisme kala itu, Presiden BJ Habibie menampakkan sosoknya pro-demokrasi. Selain itu, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 juga mengamanatkan, bahwa kemerdekaan pers adalah bagian dari hak asasi manusia.

Warisan Habibie
Pucuk dicinta, ulam tiba. Hasil perjuangan insan pers yang dinanti-nanti, akhirnya tiba juga. Presiden BJ Habibie mengabsahkan UU RI No.40/Tahun 1999 tentang Pers. Otomatis pula UU Pers tersebut mengubah (menjadi tidak berlaku) UU RI No. 21/ Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang diabsahkan Presiden Soeharto.

Memang, produk hukum positif tersebut merupakan hasil karya bersama, antara Pemerintah (Presiden) dengan DPR RI. Namun banyak pihak yakin, seandainya Presiden ke-3 RI bukan BJ Habibie, nyaris mustahil UU Pers buah reformasi tersebut bisa dilahirkan. Itulah warisan BJ Habibie pada insan pers Indonesia.

UU Pers produk Orde Reformasi tersebut ditandatangani Presiden BJ Habibie di Jakarta, 23 September 1999. Diundangkan pada tanggal yang sama dan di tempat yang sama oleh Mensesneg, Muladi. Boleh jadi kebetulan saja, Presiden ke-3 RI tersebut wafat 11 September 2019, 12 hari menjelang “HUT” UU Pers No. 40/ Tahun 1999.

Ada sejumlah pasal yang sangat kuat mengedepankan kemerdekaan pers di UU Pers produk awal reformasi 1999. Sebut saja, antara lain, Pasal 2: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.

Eksistensi kemerdekaan pers semakin kuat dikonkretkan di dalam “amanat” Pasal 4, ayat (1, 2, 3, 4) UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers.
“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” (ayat 1).
“Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran” (ayat 2). “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi” (ayat 3).

Semakin mantap kemerdekaan pers sebagai buah reformasi 1998, sangat nampak dan amat terasa di Pasal 18, ayat (1) UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers. Amanat dalam pasal tersebut merupakan “warisan besar” BJ Habibie yang menghujam langsung ke “jantung” kemerdekaan pers.

Konkretnya “amanat” undang-undang dalam Pasal 18, ayat (1) dimaksud, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melalukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4, ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”

* * *
Hari ini, Rabu, 12 September 2019, genap 12 hari menjelang “HUT” UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, saya tundukkan kepala. Dalam rasa duka yang mendalam, dengan doa saya turut mengantarkan prosesi pemakaman “Bapak Kemerdekaan Pers” di Taman Makam Pahlawan Utama Nasional, Kalibata, Jakarta Selatan.

Selamat jalan Eyang Habibie.
Selamat jalan “Bapak Kemerdekaan Pers” Indonesia.
Bersemayam dalam damai abadi di Surga Illahi. ( ☆ )

Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982 – 2002.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *