Oleh: Yunanto
Musang berbulu ayam. Saat menampakkan sosoknya sebagi musang, ia menjajah. Kolonialis tulen, culas tanpa perikemanusiaan. Tatkala berbulu ayam, ia melankolis, “mewariskan” keadaban. Mendalilkan nilai, norma, dan kaidah hukum. Hak asasi manusia pun di ubun-ubun kepalanya.
Siapa yang mampu membantah ihwal Belanda menjajah Indonesia tiga setengah abad? Siapa mampu menyanggah bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah kita tegakkan seabad lebih adalah “warisan” kolonialis Belanda? Itu semua fakta. Kokoh tak tersanggah.
Kolonialis Belanda kala itu dengan KUHP-nya, saya rasa, pas dianalogikan sebagai musang berbulu ayam. Bahkan, musang berbulu merak! Musangnya telah kita usir, 74 tahun silam. Peliknya, bulu ayamnya masih kita tegakkan bagai bulu merak, hingga kini. Tanpa aroma dan citarasa negeri merdeka. Tanpa berhati Indonesia Raya.
Pondasi Baru
Seperti apa konkretnya KUHP berhati Indonesia Raya? Jujur saja, saya kesulitan mendalilkan.
Saat masih sebagai jurnalis, saya hanya bisa merasakan sekaligus menyuarakan rasa keadilan yang tumbuh dan hidup di benak khalayak.
Sebagai jurnalis dengan spesifikasi liputan bidang hukum, saya dituntut “melek” (memahami) hukum formil maupun materiil. Sadar diri bukan ahli dan bukan praktisi hukum, saya harus belajar sendiri. Belajar dari buku, majalah, buletin, koran, diktat seminar dan makalah sarasehan hukum.
Menyimak faktual praktika hukum di markas kepolisian, di kantor kejaksaan, di gedung pengadilan. Tak terkecuali di kantor-kantor pengacara. Semua itu kerap saya lakukan seraya melaksanakan tugas peliputan. Setiap hari tanpa henti, selama bertahun-tahun.
Saya juga dituntut mampu memahami makna dan implementasi berbagai terminologi hukum berikut landasan hukumnya. Mulai dari terminologi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penuntutan, tersangka hingga terdakwa.
Wajib pula mafhum terminologi, implementasi dan landasan yuridis bantuan hukum, berita acara, dan praperadilan. Mesti paham pula domain kewenangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, serta Mahkamah Agung sebagai “judex juris” di tingkat kasasi.
Harus “melek” pula ihwal peradilan koneksitas, ganti kerugian, rehabilitasi, pembuktian, alat bukti, hingga bentuk-bentuk upaya hukum. Semua itu ada di “jagat” Hukum Acara Pidana. Di dalam UU RI No. 8/ Tahuh 1981 tentang KUHAP.
Kini, kadang masih melintas pertanyaan di benak saya. Bila KUHP saya ibaratkan rumah, maka KUHAP (Hukum Acara Pidana) adalah pondasinya. Hal yang “aneh”, bagaimana “pondasi” itu bisa dibuat (31 Desember 1981), sedangkan “rumah” yang berdiri di atasnya masih “rumah lama” warisan kolonialis Belanda? Bagaimana bisa membikin “pondasi” baru tanpa mengubah “rumahnya”?
Ditunda Lagi
Jauh sebelum Hukum Acara Pidana “produk” rezim Orde Baru itu lahir (1981), niat merevisi KUHP sudah lama muncul, sejak 1963. Namun, niat tersebut berulang kali tertunda. Sekarang pun tertunda lagi. Secara resmi, penundaan tersebut telah disampaikan Presiden Jokowi, di Istana Bogor, Jumat, 20 September 2019.
Menjelang akhir pekan lalu itu, Presiden memerintahkan Menkumham Yasona Laoli untuk menyampaikan sikap pemerintah kepada DPR RI. Intinya, menunda pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang. Presiden berpandangan, biarlah pengesahan RUU tersebut ditangani DPR RI periode 2019-2024, nanti.
Seraya berharap agar DPR RI sepaham dengan pemerintah, Presiden Jokowi menyatakan memahami ihwal masih adanya pro-kontra di kalangan masyarakat. Pro-kontra itu terkait dengan sejumlah substansi materi perubahan dan pembahasan RUU KUHP yang butuh pendalaman lebih lanjut.
Presiden Jokowi juga menyatakan akan menjaring lagi masukkan dari sejumlah kalangan. Harapannya, agar RUU KUHP itu, kelak, dapat mulus diterima khalayak. Tugas menjaring masukan itu ia bebankan kepada Menkumham. Disebutkan pula ada sekitar 14 pasal yang substansi materinya masih menimbulkan pro-kontra.
Menkumham Yasona Laoli didampingi Prof. Muladi juga telah menggelar jumpa pers. Menjelaskan sejumlah substansi materi dalam beberapa pasal di RUU KUHP yang diprokontrakan. Lebih jelasnya, dikhawatirkan.
Namun masukan yang menyertai kekhawatiran sekaligus rasa keadilan, tetaplah hak rakyat
Menangkap dan menyuarakan rasa keadilan di benak khalayak (masyarakat), itulah yang saya tangkap sebagai tupoksi jurnalis. Membantu khalayak komunikan media menjadi “melek” hukum, adalah obsesi jurnalis.
Tak pelak, banyak peristiwa yang “menabrak” bahkan “mengoyak” rasa keadilan masyarakat, mendapat atensi serius para jurnalis. Peliknya, kerap menjadi masalah dalam implementasi. Kemerdekaan pers dihadang berbagai produk hukum positif yang dirasa membelenggu.
Kekhawatiran adalah hal wajar. Begitu pula khawatir ihwal pasal-pasal “hatzai artikelen”, pasal tentang penghinaan. Dinilai malah “dikuatkan” dalam RUU KUHP. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, contohnya. Wajar insan pers khawatir. Kelak, tatkala pers mengritik presiden dan/atau wakil presiden, dijaring dengan “pasal karet” penghinaan tersebut. Padahal kritik beda dengan penghinaan. Itu hanya satu dari belasan pasal yang dikhawatirkan dalam RUU KUHP.
Bagaimana Nanti
Tidak ada tindak pidana, jika belum ada undang-undang pidana yang mengaturnya lebih dahulu. Begitulah aksioma hukum. Kalangan ahli dan praktisi hukum lazim menyebut “Nullum delictum noella poena sine pryaivea lege poenali”.
Peliknya, fakta di negeri tercinta ini tak jarang malah terjadi sebaliknya dari aksioma hukum tersebut. Galibnya, telah ada hukum positif yang mengatur, tapi hukum positif itu malah dianggap tidak ada. Ilustrasi faktualnya, sebut saja kasus “petrus” (penembakan miterius), 1983-1984.
Fakta, Hukum Acara Pidana (KUHAP) lahir dan diabsahkan berlaku pada 31 Desember 1981.
“Aneh”,
dua-tiga tahun setelah UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang KUHAP tersebut berlaku, terjadilah kasus “petrus”. Sangat banyak WNI “berstempel” bromocorah di seantero Republik Indonesia, dieksekusi mati tanpa proses peradilan.
Tanpa ada
predikat formal sebagai tersangka, terdakwa, apalagi terpidana, langsung “didor” mati. Mayat-mayat WNI “berstempel” bromocorah itu sengaja digeletakkan di tepian jalan raya. Ada sejumlah luka tembak di kepala dan tubuhnya. Fakta, bahwa KUHAP dianggap atau “diperlakukan” tidak ada.
Pers tentu saja mewartakan. Namun, mana berani fulgar sesuai dengan fakta. Wajib pandai-pandai membawa diri. Pasalnya, kemerdekaan pers di ujung tanduk. Berani macam-macam, bredel. Gampang sekali. Cukup cabut/batalkan SIUPP-nya, otomatis mati. Itu yang terjadi zaman “rezim” UU Pers No. 21/ Tahun 1982.
Kini, dua dasawarsa pasca-reformasi, nyaris mustahil KUHAP diperlakukan lagi seperti pada “zaman petrus”. Rakyat pemegang daulat yang “melahirkan” eksekutif dan legislatif, semakin berakses kuat pada demokratisasi. Suara (masukan) rakyat, haruslah didengar. Tak terkecuali dalam konteks RUU KUHP.
“Salus populi suprema lex”, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Bila kelak RUU KUHP tersebut tidak bermuatan “keselamatan dan kesejahteraan sebagai hukum tertinggi”, maka berpotensi lahir KUHP yang tidak berhati Indonesia Raya. (☆)
Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta, wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982 – 2002.
Komentar