Detik Bhayangkara.com, Jakarta- Tiga orang telah ditetapkan untuk memimpin parlemen di Senayan selama lima tahun ke depan, untuk periode 2019-2024.
Politisi PDI Perjuangan Puan Maharani menjadi Ketua DPR, La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua DPD, dan politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo ditetapkan sebagai Ketua MPR. Sehingga, pucuk pimpinan parlemen dikuasai oleh para pendukung pemerintah.
Bagaimana parlemen 5 tahun ke depan di bawah Puan, La Nyalla, dan Bambang Soesatyo? Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Mada Sukmajati mengatakan, melihat komposisi ini, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.
Menurut dia, dari sisi relasi eksekutif-legislatif, seharusnya hal itu bisa membuat pemerintahan lebih efektif. Akan tetapi, bisa juga terjadi sebaliknya. “Artinya bisa saja terjadi pembilahan atau divided government antara eksekuitif dan legislatif,” kata Mada saat dihubungi awak media, Jumat (4/10/2019).
“Jadi, menurut saya, masih tersedia dua kemungkinan itu. Karena tidak mudah lantas menjamin bahwa pemerintahan Pak Jokowi bisa efektif ke depan dengan konstelasi yang baru,” lanjut dia.
Tidak adanya kubu oposisi menduduki pucuk pimpinan parlemen, menurut Mada, jangan sampai mengganggu mekanisme check and balances. Sebab, bagaimana pun, mekanisme itu harus terjadi.
“Selama ini partai-partai pengusung Jokowi juga sangat kritis terhadap Jokowi. Jadi sekali lagi itu tidak menjamin semuanya sejalan seirama, kemudian membuat demokrasi tidak kritis dan seterusnya,” kata Mada.
Menurut Mada, pertentangan terbaru tentang UU KPK dan RKUHP justru menunjukkan bahwa terjadi friksi antara Jokowi dan partai pendukungnya. Oleh karena itu, Mada menyebutkan, tantangan pemerintah masih banyak karena kepentingannya berbasis pada isu.
“Sehingga itu akan sangat dinamis sekali menentukan relasi eksekutif-legislatif ke depan,” ujar dia. Sementara itu, dihubungi secara terpisah, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, mekanisme dan apa yang ada di parlemen saat ini merupakan sesuatu yang wajar dalam politik.
Menurut dia, partai yang berkuasa memiliki hak untuk menentukan lobi-lobi politiknya. Agus juga mengkritisi UU MD3 yang dinilainya menguntungkan partai pemenang. “Kayak PDI-P kan suaranya terbesar, jadi dia milih komisi mana dulu yang bisa menjadi mata air, bukan memilih posisi air mata,” kata Agus, Jumat (4/10/2019).
Agus meminta agar publik terus mengawasi. “Yang ada, kita optimalkan bagaimana ketika pembahasan peraturan perundang-undangan publik punya hak untuk menyuarakan, begitu saja,” tandasnya. (*)
Komentar