Cicak mudah kita temukan dalam keseharian kita. Saya pun hampir setiap hari melihat cicak. Merayap di dinding rumah. Mulai di dinding ruang tamu, kamar tidur, dapur, hingga kamar mandi.
Sering kali saya melihat cicak merayap di dinding rumah orang kaya, di hotel bintang, hingga di ruang kerja kantor kepala daerah. Apa yang dapat kita pelajari dari hewan yang merayap ini?
Cicak adalah binatang yang cekatan. Itu faktual. Cekatan dalam konotasi cepat dan mahir melakukan sesuatu_. Kemahiran cicak terbukti dengan keberadaannya merayap dan ke luar-masuk banyak tempat. Mulai dari rumah tipe RSS hingga istana raja.
Cicak memang dapat ditangkap secara mudah. Namun ia juga dapat berkelit dan melepaskan diri secara mudah pula.
Salah satu “jurusnya”, melepaskan (memutuskan) ekornya. Terminologi ilmiahnya disebut mimikri. Kemudian ia bergerak cepat untuk menyelamatkan diri.
Sebagai manusia, kita tentu memiliki kelemahan dalam hal tertentu, seperti cicak punya kelemahan. Namun, jika kita dapat memaksimalkan kelebihan kita, hingga menjadi mahir, kita pun akan berkesempatan untuk berada di istana raja. Ini sekadar gambaran, dari tempat spesial yang dipenuhi orang-orang hebat, kita mampu menarik perhatian orang banyak dengan kemahiran kita.
“Filosofi” cicak, andai saya proyeksikan pada sosok jurnalis, asyik pastinya. Siapa pun Si Jurnalis, dari mana pun asalnya, apa pun latar belakangnya, pastilah tidak sempurna. Pasalnya, ia manusia. Bukan pemilik kesempurnaan.
Lewat “filosofi” cicak, cobalah bertanya pada diri sendiri dan renungkan:
💕 “Sudahkah saya memaksimalkan kelebihan yang saya miliki sebagai jurnalis?”
💖 “Apa yang harus saya perbuat sebagai jurnalis, bila saya masih lemah di bidang mencari dan mengolah bahan berita menjadi naskah berita?”.
Konklusi:
—————
❣ Bagi jurnalis yang cekatan dan mahir, nyaris pasti ada hal-hal besar bisa diperbuat di jagat kewartawanan.
Selamat belajar,
dan terus belajar.
Salam,
Yunanto.
Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002.
Komentar