oleh

Jurnalisme Analisis

-artikel-1,984 views

Oleh: Yunanto

Jurnalisme bermakna faham atau aliran tentang teknik dan strategi berkarya jurnalistik. Analisis adalah tindakan pengkajian secara detil dan mendalam atas sesuatu hal dengan cara menguraikan komponen hal dimaksud.

Seutuhnya, jurnalisme analisis adalah faham/aliran berkarya jurnalistik berlandaskan hasil pengkajian detil dan mendalam atas semu elemen bahan berita.

Jurnalisme analisis tersebut saya gunakan sebagsi “kacamata” untuk menyimak isi warta di sejumlah media online. Kesimpulan saya, nyaris semua media siber minim karya jurnalistik berbasis jurnalisme analisis.

Isi warta dominan
fokus pada elemen what dan who. Elemen when pun telah berlalu (peristiwa telah terjadi). Model pewartaan berbentuk berita langsung atau berita lurus. Lazim disebut straight news.

Fakta berikutnya, narasi warta dan struktur tata bahasa jurnalistiknya beraroma press release. Minim kandungan hasil perburuan atas elemen-elemen bahan berita. Minim pula tindakan check and recheck.

Salahkah faktual tersebut? Tentu tidak. Artikel ini saya tulis tidak menggunakan pijakan terminologi salah-benar.

Pijakan saya pada upaya meningkatkan bobot nilai berita dalam sebuah karya jurnalistik. Pasalnya, karya jurnalistik yang berbobot nilai berita tinggi pasti mencerdaskan khalayak komunikan (penikmat) medianya.

Beragam Analisis
Ada beragam metode untuk menaikkan bobot nilai berita. Salah satunya, menggunakan metode analisis elemen bahan berita. Analisis atas elemen “5 W + H”.

Kunci metode tersebut harus lebih dahulu berpijak pada elemen what yang benar-benar kuat. Elemen what yang patut dapat diduga berkekuatan memikat khalayak komunikan media massa.

Berikutnya, harus berpijak pada elemen who yang juga patut dapat diduga berdaya pikat tinggi. Who dimaksud lazimnya figur publik, meski tidak harus. Tak hanya kuat di aspek popularitas, tapi juga kredibel dan cakap di bidangnya.

Bila elemen what dan who berkualitas tinggi telah diperoleh, tinggal mengolah dengan elemen why dan how. Konkretnya, why dan how atas what dan  who. Tentu, wajib detil dan mendalam.

Bumbu penyedap why dan how saja tidaklah cukup. Harus dilengkapi materi penyedap berupa data pendukung. Maka setiap jurnalis perlu memiliki bank data pribadi. Bank data ihwal semua elemen bahan berita dalam “5 W + H”.

Saya berikan ilustrasi. Misal, ihwal kontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kota Malang dan di Kabupaten Malang. Bank data mencatat fakta. Sepuluh tahun terakhir ini (2009 – 2019), dalam kontestasi pemilu legislatif (pileg), PDI Perjuangan selalu unggul. Peraih kursi mayoritas di DPRD Kota Malang dan di DPRD Kabupaten Malang.

Dalam kontestasi pilkada 10 tahun terakhir ini, keunggulan PDI Perjuangan di medan kontestasi pileg tidak linier dengan hasil di medan pilkada. Fakta, PDI Perjuangan selalu kalah dalam kontestasi pilkada di Kota Malang dan di Kabupaten Malang.

Mengapa bisa demikian? Bagaimana dalam kontestasi pilkada Kabupaten Malang 2020 kelak? Akankah pasangan calon bupati dan wakil bupati yang diusung PDI-Perjuangan tumbang lagi? Jawaban atas serangkaian pertanyaan serupa itulah yang menjadi bahan berita berbasis analisis. Selanjutnya diolah menjadi naskah berita bermodel jurnalisme analisis.

Sangat jelas, hari “H” (elemen when) peristiwa pilkada 2020 (elemen what) belum terjadi. Siapa saja (elemen who) juga belum diabsahkan KPU setempat. Itulah “ruh” jurnalisme analisis. Sangat informatif, sarat prediksi, dan berpotensi kuat memikat komunikan media.

Reportase Mendalam
Saya pernah menulis artikel tentang modal dasar menjadi jurnalis. Saya sebutkan, ada lima modal dasar yang idealnya dimiliki sosok jurnalis media apa pun (visual, audio, audio visual).

Lima modal dasar dimaksud saya rincikan, (1) pengetahuan luas, (2) daya mampu persepsi tinggi, (3) daya mampu observasi tinggi, (4) mampu menulis opini/artikel, (5) berkemampuan memanusiakan manusia.

Ada tiga dari lima modal dasar tersebut yang mutlak dimiliki jurnalis dalam memproduksi karya jurnalistik analisis. Rincinya, (1) berpengetahuan luas, (2) berdaya mampu persepsi tinggi, dan (3) berdaya mampu observasi prima.

Jurnalis berpengetahuan luas pasti tidak pernah berhenti mendidik diri sendiri. Ia pasti banyak membaca apa saja yang berpotensi menambah luas pengetahuannya.

Pengetahuan yang luas, melahirkan daya mampu persepsi. Konkretnya, daya mampu membahas dan menganalisis serangkaian keadaan, kemudian menarik kesimpulan berakurasi tinggi.

Daya mampu observasi mutlak harus dimiliki jurnalis. Sanggup dan mampu mengamati serta mendeteksi hal-hal yang tidak lazim, hal-hal yang menarik hati. Beda dengan daya persepsi, daya observasi terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik.

Berbekal sederet modal tersebut, seorang jurnalis idealnya mampu memproduksi karya jurnalistik berbentuk reportase mendalam ( indepth reporting). Itulah faktual jurnalisme analisis. Tidak berkutat hanya berkarya dalam model straight news, lantas berpuas diri.

Jurnalisme analisis selalu berpotensi melahirkan berita kelanjutan ( follow up news). Semakin berkelanjutan pewartaannya ( running news), isinya pun pasti kian memikat khalayak komunikan. Pasalnya, bermuatan perkembangan informasi yang sangat informatif dan akurat. Bermanfaat bagi khalayak komunikan media massa. (*)

Catatan Redaksi:
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002; berdomisili di Kabupaten Malang.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed