Oleh : Mohammad Subhan (Wakil Ketua LTN PBNU)
15 Desember 2019
18 Robiul Akhir 1441 H
Sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa bila saya diberi kesempatan untuk turut memberi kata pamungkas dalam buku Yasin dan Tahlil ini. Bukan apa apa, pertama karena saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah orang biasa-biasa saja. Bukan tokoh. Bukan orang penting.
Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan kepada saya. Salah satu kenikmatan yang selalu saya syukuri dan sampai sekarang tidak pernah saya lupakan adalah dapat berhubungan batin dalam waktu cukup lama dengan Almarhum KH Abdul Muchith Muzadi. Kedekatan hubungan batin kami dapat digambarkan dari kalimat putra-putri beliau manakala kami membezuk beliau saat sedang sakit. Biasanya mereka menggoda, “Lha.. iki anak lanange teko…!” (Ini anak lanang nya datang – red) lalu mereka meninggalkan kami berdua. Biasanya saya menerima pesanan tugas dari mereka untuk menghibur dan merayu mbah Muchih agar kerso dahar dan beristirahat sejenak dari berpikir yang berat-berat, dan itu hampir selalu tentang NU.
Dalam kesempatan lain, mereka sempat berkelakar bahwa Mbah Muchith masih punya dua anak lagi, selain dari kedelapan anaknya yang selama ini saya kenal. Lho, siapa kedua anak itu? Kok saya tidak pernah tahu dan tidak penah kenal.
Ternyata kedua anak itu adalah saya sendiri, yang dijuluki sebagai anak lanang; dan Ibu Khofifah Indar Parawansa sebagai anak wedok. Meski saya tahu itu hanya sebuah kelakar, namun tetap saja membuat saya senang. Karena inilah kehormatan kedua, telah dianggap sebagai bagian Keluarga Besar mbah Muchith, dan kehormatan ketiga saya disejajarkan dengan Ibu Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Muslimat NU yang juga Gubernur Jawa Timur.
Arti lain dari kelakar ini adalah hubungan batin kami sudah masuk sedemikian dalam. Dan kini, bertambahlah kehormatan saya dari putera-puteri mbah Muchith, karena dalam buku ini saya disejajarkan dengan Prof. Mahfudz MD yang pernah menjadi Ketua MK dan Menteri Pertahanan jaman Presiden Gus Dur.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Mbah Muchith. Terutama yang kaitan dengan menata hati dan berkhidmat dalam perjuangan. Dalam kekecewaan yang mendalam, biasanya beliaulah yang mengarahkan saya.
Berkali-kali saya mengucap syukur kepada Allah SWT telah dipertemukan
dengan guru sekaliber Mbah Muchith.
Saya pernah merasakan kualitas seorang Mbah Muchith dalam proses penulisan buku Antologi NU jilid pertama. Kala itu tidak ada dana sama sekali, dan saya belum banyak kenal para tokoh yang harus saya hubungi. Padahal mereka tinggal di berbagai pelosok Jakarta, Bogor, Bekasi, Blitar, Surabaya, dlsb, yang jelas butuh banyak dana. Ternyata
semua itu dapat teratasi dengan kalimat ‘salam dari Mbah Muchith’Jember dan buku yang diidamkan itupun akhirnya dapat terbit yang sampai saat ini sudah jilid kedua.
Waakhiran, selain mengucap syukur, marilah kita mendo’akan beliau almarhum Mbah Muchith Muzadi.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi
wa’fuanhu. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa beliau, menyayangi beliau, dan menempatkan beliau di tempat mulia di sisi-Nya.
Aamiiiin….. (*/ Fathul Amin,ST, Mpd)
Komentar