Detik Bhayangkara.com, Koltim – Perambahan kawasan Taman Nasional Rawa Opa Watumohai dengan menggunakan alat berat exavator kembali terjadi, namun kali ini berada didesa Tetembuta kecamatan Dangia.
Salah seorang bernama Junaedi yang mengaku dari Lembaga Komite Anti Korupsi ( 18/12/2020 ) mengatakan, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diserahkan oleh pewaris kami mohonkan dikementrian kehutanan, dan kami lampirkan surat pemberitahuan untuk membuka lahan ini, semua instansi sudah kami infokan terkait dengan pembukaan lahan ini bahkan mulai dari presiden sampai ketingkat desa sekitar 12 instansi, namun tak satupun instansi yang membalas surat kami.
”bahkan kami telah memberikan tenggang waktu 12 hari untuk merespon surat kami, mungkin jika ada yang keberatan baik melalui instansi atau perorangan surat kami sudah direspon oleh pihak pemerintah, makanya kami sejak tanggal 16 sudah memulai pekerjaan,” jelasnya.
Disimpulkan bahwa dari penyampaian Junaedi, kegiatan tersebut dilakukan diduga tanpa mengantongi ijin maupun rekomondasi terlebih dahulu dan hanya berdasarkan pemberitahuan kepada instansi setempat serta pihak yang berwewenang dengan kata lain spekulasi.
Seperti yang telah dijelaskan dalam keputusan menteri kehutanan bahwa Taman nasional Rawa Aopa Watumohai telah ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi dengan nomor 756/kpts-ll/1990 tanggal 17 Desember 1990 seluas 105.194 Ha dan telah selesai ditata batas pada tahun 1986.
Selain itu telah diatur pula dalam UU No 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan Pasal 17 ayat 2 huruf (a) bahwa setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun didalam kawasan hutan tanpa ijin menteri, huruf (b) melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri didalam kawasan hutan, pasal 92 orang atau persoorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada pasal 17 ayat 2 huruf (a) dan (b) dapat dipidana penjara singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp 1.500.000.000 dan paling banyak Rp 5.000.000.000.
”Yang menjadi dasar utama untuk melakukan pekerjaan oleh pihak pengelolah adalah, dengan tidak adanya respon dari pemerintah terkait dengan surat pemberitahuan yang telah mereka layangkan surat, sehingga pihak pengelolah menganggap bahwa semua instansi yang telah disurati tidak merasa keberatan dengan kegiatan perambahan kawasan tersebut,” jelasnya.
Jika mengacu pada undang-undang maupun keputusan menteri sudah jelas bahwa pekerjaan perambahan kawasan tersebut adalah ilegal sebab hanya bermodalkan surat pemberitahuan yang ditujukan keinstansi terkait kemudian pekerjaan sudah dilakukan tanpa menunggu keputusan maupun rekomondasi khususnya dari kementrian kehutanan.
”Diharapkan kepada pemerintah daerah khususnya bupati kolaka timur yang sebelumnya telah menerima surat pemberitahuan dari pihak perambah agar mengkroscek langsung kelokasi dengan adanya kegiatan tersebut dan menindak lanjuti sampai keproses hukum apabila terbukti telah menyalahi aturan dan perundang-undangan yang berlaku,” tandasnya. (anto)
Komentar