oleh

Jurnalis Muda Merasa Minder

-artikel-1,303 views

Oleh : Yunanto

“Kadang saya merasa minder, Pak. Apalagi saat kumpul di lapangan bersama rekan-rekan jurnalis. Jam terbang saya sebagai jurnalis, ibarat baru kemarin sore. Bagaimana mengatasi rasa minder itu, Pak?”

Curhat “berekor” kalimat tanya itu dari seorang jurnalis muda kepada saya, lewat jaringan pribadi WA. Saya balas WA-nya, kemarin. Saya yakinkan, minder itu perasaan manusiawi. Wajar saja. Tak perlu dirisaukan. Hanya perlu diatasi.

“Apakah Bapak dahulu juga merasa minder saat mengawali karier sebagai wartawan?”

Saya jawab, dari titik “nol kilometer” seperti Anda saat ini, saya pun merasa minder. Mungkin, bedanya, saya berjuang keras mengatasi rasa minder. Caranya, belajar dan terus belajar. Tiada henti. Siang-malam. Jatuh-bangun dalam keterbatasan sarana dan prasarana komunikasi, kala itu.

Saya belajar kewartawanan dari berbagai sumber. Belajar dari buku-buku jurnalistik. Belajar dari koran, majalah, tabloid, buletin, komik, narasi iklan, radio, televisi hingga film.

Saya juga belajar dari masyarakat dan lingkungan. Belajar dari berbagai institusi yang saya datangi. Belajar pula pada kakak-kakak senior. Tidak segan bertanya. Tidak alergi dikritik. Tidak sakit hati dimarahi, karena memang salah.

Pelan tapi pasti, pengetahuan kewartawanan saya bertambah-tambah. Seiring bertambahnya pengalaman di lapangan. Ilmu dan pengalaman itu pun bertautan. Mengkristal dalam diri. Tanpa terasa minder sirna dari dalam diri saya. Entah lenyap ke mana. Tinggallah rasa percaya diri, namun bukan rasa pongah. Bukan pula sombong.

Contoh Konkret
Saya merasa, ilmu saja tidak cukup. Butuh pengalaman untuk mematangkan ilmu di ranah praktika. Pengalaman pun kurang sempurna hasilnya, bila tidak ditunjang oleh ilmu. Akhirnya, minder tidak mendapatkan tempat dalam diri saya. Semua “ruang” dalan diri terasa sudah ditempati ilmu dan pengalaman yang mengkristal.

Jurnalis muda itu saya yakinkan lagi dengan sederet contoh konkret. Saya sebutkan, antara lain, sosok H. Adam Malik Batubara. Saat muda, Adam Malik yang hanya berbekal ijasah SLTP, nekat merantau ke Jakarta. Dari kampung halamannya di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tekatnya bulat: menjadi wartawan harga mati!

Tentu saja, pemuda berdarah Batak kelahiran 22 Juli 1917 itu belajar sangat serius. Membanting tulang, ibaratnya. Belajar jurnalistik dari buku-buku. Menimba pengalaman dari para senior pun ia tekuni. Semua itu terjadi pada zaman sulit. Zaman penjajahan Belanda. Berlanjut zaman penjajahan Jepang. Hingga zaman Indonesia merdeka.

Hasilnya? Luar biasa. Adam Malik sukses sebagai jurnalis. Sebelum dan setelah Indonesia merdeka. Sukses berkelanjutan. Ia mampu memotori berdirinya Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) “Antara”. Institusi media massa milik pemerintah ini pun melegenda.

Sukses “Si Jurnalis Cerdik” tersebut terus berlanjut. Pasalnya, dia terus belajar. Tiada berkesudahan. Ilmu dan pengalaman dikristalkan dalam diri. Malah tak hanya ilmu dan praktika kewartawanan. Ilmu dan praktika diplomasi ditekuni.
Ilmu dan praktika politik dijalani. Saat keemasan pun tiba. Ia sukses berkarier di pemerintahan.

Sukses mengalir. Adam Malik masih tidak berhenti belajar. Tidak pernah. Ilmu dan pengalaman dikristalkan dalam dirinya. Maka menjadi tidak aneh ketika Presiden Soeharto menggandeng jurnalis hebat asal Pematang Siantar itu. Masuk dalam “barisan” pemerintahannya.

Meski hanya berpendidikan formal SLTP, namun jurnalis yang dijuliki “Si Kancil” karena kecerdikannya itu, dipercaya menjadi menteri. Beberapa kementerian pernah ia pimpin. Terlama sebagai Menteri Luar Negeri.

Setelah masuk ranah legislatif sebagai Ketua MPR RI, jurnalis yang menguasai beberapa bahasa asing itu dipercaya menjadi Wakil Presiden RI. Puncak karier “Sang Jurnalis”.

Kepada jurnalis muda yang merasa minder, saya yakinkan. Adam Malik seperti kita. Ia makan nasi, menghirup oksigen (O2), menghembuskan carbon dioksida (CO2), seperti kita! Bahkan, sekarang peluang kita belajar lebih terbuka dan lebih nyaman dibandingkan dengan peluang Adam Malik tempo doeloe.

Masih patutkah ada rasa minder sebagai jurnalis muda dalam diri Anda? .

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed