oleh

Pilih Orang Sukses atau Orang Bernilai?

-artikel-11,402 views

Oleh: Yunanto

Si Fulan sukses dalam kancah kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) beberapa tahun silam. Sayang, belum genap satu periode menjabat, ia digaruk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendekam beberapa tahun di dalam hotel prodeo. Vonis pengadilan tipikor atas dirinya telah berkekuatan hukum tetap.

Sukses memang telah diraih oleh Si Fulan dalam ranah kontestasi pilkada. Sekali lagi sayang, ia gagal menjadi orang bernilai setelah berhasil menjadi orang sukses. Padahal, strata makna “orang bernilai” lebih tinggi daripada “orang sukses”.

Terminologi “orang bernilai” sarat muatan nilai-nilai kemanusian yang berkeadaban dan berkeadilan. Penuh muatan nilai tentang keimanan dan akhlak. Pendek kata, “orang bernilai” adalah sejatinya manusia yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia lain.

Pengkhianatan
Dalam kasus Si Fulan Kepala Daerah yang dicokok KPK, hal yang terjadi adalah pengkhianatan. Ya, pengkhianatan Si Fulan terhadap konstituen (rakyat) yang telah memilih dirinya dalam kontestasi pilkada. Tentu saja, juga pengkhianatan terhadap rakyat di wilayahnya, kendati tidak memilih dirinya.

Bukan slogan Salus Populi Suprema Lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Justru sebaliknya, “keselamatan dan kesejahteraan” Si Fulan beserta keluarganya sendiri plus kroni-kroninya.

Sekali lagi, kasus tipikor Si Fulan jelas pengkhianatan pada amanah rakyat. Sampai pada titik pemikiran ini, saya menjadi ingat kata-kata mutiara yang pernah dilontarkan Albert Einstein.

“Cobalah untuk tidak hanya menjadi orang yang sukses, melainkan mencoba juga untuk menjadi orang yang bernilai,” kata Albert Einstein, salah satu sosok ilmuwan kelas dunia.

Si Fulan dalam kontek pilkada hanya berkiblat pada slogan Vox Populi Vox Dei (suara mayoritas rakyat adalah “suara Tuhan”). Target utamanya semata-mata hanya meraup suara sebanyak-banyaknya. Ia menyakini, hanya dengan demikian itu bisa muncul sebagai jawara kontestasi pilkada.

Tidak salah, namun juga tidak seluruhnya benar. Ada slogan yang justru lebih esensial “mendampingi” slogan tersebut dalam implementasinya. Konkretnya, Salus Populi Suprema Lex. Ya, keselamatan dan kesejahteraan rakyat lebih utama daripada perolehan suara terbanyak. Di sinilah eksistensi “orang bernilai”. Bukan “orang sukses” semata.

Gejala Klinis
Kini hingga pasca hari “H”, 9 Desember 2020 nanti, publikasi ihwal kontestasi pilkada bakal marak. Menyesaki ruang-ruang informasi publik. Mencolek dan menggoda perhatian khalayak komunikan media massa.

Ada beberapa hal yang patut disayangkan seiring dengan semakin padatnya konten berita pilkada di jagat media massa. Pertama, bersamaan dengan “musim” pandemi Covid-19. Kedua, sosialisasi tentang pilkada berikut praktika protokol kesehatan terkait dengan Covid-19 belum terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Sosialisasi ihwal pilkada berikut praktika protokol kesehatan terkait dengan Covid-19 secara TSM, menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pilkada. Tentu, KPU dan Bawaslu di daerah setempat.

Kendati demikian, naif jika perihal sosialisasi tersebut hanya dibebankan kepada pihak penyelenggara pilkada. Ada elemen Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di daerah setempat yang juga wajib ambil peran. Ada pula elemen pemerintah daerah setempat plus jajaran perangkatnya hingga di tingkat desa dan kelurahan.

Lebih esensial lagi adalah para kontestan pilkada bersama tim suksesnya. Mereka pun punya kewajiban moral terkait dengan implementasi sosialisasi tersebut.

Ketiga, ini yang parah, ada “gejala klinis lesu darah” di tataran rakyat pemegang hak pilih. Harap maklum, selama berbulan-bulan kehidupan sosial-ekonomi rakyat telah dibikin susah oleh Covid-19. Pilkada tidak lagi menjadi agenda demokratisasi yang memikat hati khalayak untuk berpartisipasi.

Tidak perlu mencari kambing hitam ihwal siapa salah, siapa benar. Cukup berkiblat pada fakta saja. Selain fakta satu, dua, tiga tersebut di atas, ada fakta lain. Penulis dapatkan dari serangkaian obrolan ringan dengan sejumlah pemegang hak pilih dalam kontestasi pilkada 9 Desember 2020 kelak, di Kabupaten Malang.

Konkretnya, ada “gejala klinis enggan memilih” lantaran berpersepsi hasilnya bakal “begitu-begitu saja”. Berikutnya ada “gejala klinis takut memilih” karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari incaran virus Corona. Terutama mereka yang berada di kawasan zona rawan.

Wajar dan sah-sah saja sebagian rakyat pemegang hak pilih enggan, gamang, bahkan takut beranjak ke bilik suara. Toh menggunakan hak pilih (memilih) atau tidak menggunakan hak pilih (golput) adalah sama-sama hak. Dijamin oleh hukum positif (undang-undang). Jelas bukan perbuatan melawan hukum, kecuali bila secara sadar dan sengaja mengajak atau menganjurkan orang lain untuk golput.

Kini terpulang pada kita, masyarakat pemegang hak pilih di suatu daerah yang bakal menggelar pilkada. Idealnya, kita tidak hanya menaati protokol kesehatan terkait dengan Covid-19. Lebih dari itu, kita pun memiliki kemampuan mencermati perilaku penyelenggara pilkada dan kontestan pilkada plus “armada pasukan” tim suksesnya.

Sejauh mana faktual implementasi sosialisasi pilkada dan protokol kesehatan terkait dengan Covid-19 secara TSM. Kita punya hak bersuara, mengritik, melalui segala saluran yang ada. Tentu saja, suara dan kritik yang konstruktif.

Pendek kata, hakikat pilkada pada “musim” pandemi Covid-19 adalah keselamatan dan kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi.
Salus Populi Suprema Lex !

Catatan:
Penulis wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002; alumnus Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed