oleh

Duel Dua Kakek

-artikel-11,026 views

—————————- ✍️

Usianya terpaut tiga tahun saja. Kakek Donald Trump 74 tahun, Kakek Joe Biden 77 tahun. Di Indonesia, mereka sudah masuk kategori manusia lansia (lanjut usia). Kurang atau malah tidak “layak jual” di jagat kontestasi pemilu.

Di Amrik (baca: Amerika Serikat) beda. Terminologi lansia tidak berlaku di negeri adidaya yang konon super-demokratis itu. Bahkan di kancah pilpres sekalipun. Terbukti ada duel dua kakek tersebut di arena kontestasi pilpres menjelang akhir 2020 ini.

Saya tidak punya niat sok tahu tentang pilpres di Amrik. Selain belum pernah ke sana, saya juga bukan pengamat politik luar negeri. Tahu dirilah. Nawaitu saya hanya ingin menyimak dari sisi humaniora (baca: nilai-nilai humanisme).

Dalil Kecurangan
Humaniora pertama, tentu versi saya, ada kesamaan “karakter” dari pihak yang kalah. Intinya, merasa dicurangi atau merasa ada kecurangan. Lantas minta proses penghitungan suara dihentikan. Di Amrik dan di Indonesia, hal tersebut sama saja.

Kakek Donald Trump bersama kubu Partai Republik, mendalilkan ada kecurangan. Tentu, setelah dinyatakan kalah pasca-penghitungan suara. Sayang, dalil tersebut tidak didukung alat bukti dan barang bukti sahih. Jadi seperti canang yang bergemerincing. Sia-sia belaka.

Kakek Joe Biden sebagai pihak pemenang dari kubu Partai Demkrat pun begitu. Memberikan pernyataan yang sangat humanis. Sarat muatan filosofis dengan retorika nasionalisme tinggi. Sama dengan “karakter” pemenang kontestasi pemilu di Indonesia.

Kekek Biden antara lain bilang, sudah beberapa kali dirinya kalah di kancah pilpres. Baru kali ini menang. Ia minta rakyat Amrik yang telah terbelah dua akibat pilpres, bersatu kembali.

Kepada massa Demokrat dan pendukungnya, ia juga minta agar menghentikan kepongahan menista kubu Kakek Trump yang kalah. Andai Kakek Biden bisa berbahasa Jawa, mungkin ia akan berujar, “Menang tanpo ngasorake” (menang tanpa mengalahkan).

Humaniora dan nasionalisme dalam narasi verbal itu sama dan sebangun dengan di Indonesia, pada tiap kontestasi pemilu. Bahkan juga di negara-negara demokratis lain. Tiada beda bin sama saja. Lantas, di mana letak beda “kehebatan” Amrik secara spesifik?

Humaniora kedua, aksi demo. Terjadi unjuk rasa massa pihak yang kalah maupun yang menang kontestasi. Gegap gempita di sejumlah negara bagian. Mereka disekat oleh barikade polisi, agar antar-dua kubu massa tidak bentrok. Sama dengan di Indonesia.

Sekali lagi, di mana letak beda “kehebatan” Amrik secara spesifik? Dalam kontek kontestasi pemilu, ternyata sama saja. Negeri Paman Sam yang dianggap sebagai suhu (guru) demokrasi, sama saja dengan negara-negara berkembang dalam hal tersebut.

Kesetaraan Gender
Satu hal menarik, harus jujur diakui, ihwal kesetaraan gender. Indonesia pun tidak kalah, sesungguhnya. Telah dipelipori oleh Raden Ajeng Kartini. Jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Saya justru tertarik menyimak pasangan Kakek Biden, yaitu Wapres
Kamala Devi Harris. Kini ia tercatat sebagai wanita kulit hitam pertama yang menjadi Wapres AS.

Siapa Kamala Harris itu? Teman saya, jurnalis asal Kota Malang yang tinggal menetap di Sidney, Australia, mengirimkan informasi lewat jejaring WA, kemarin.

Teman saya menginformasikan, wapres perempuan, pasangan Kakek Biden itu, lahir di Oakland, California, 20 Oktober 1964.

Nama Kamala merupakan pemberian ibunya. Kamala berarti teratai (bunga teratai), bagian dari budaya India.

Kamala juga berarti nama lain untuk sosok dewi Hindu, yaitu Lakshmi. Sekaligus juga bermakna pemberdayaan perempuan.

Kamala Harris merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Ibunya bernama Shymala Gopalan, seorang peneliti kanker yang sekaligus merupakan aktivis hak-hak sipil dari India.

Ayahnya bernama Donald Harris, pengajar di Universitas Stanford yang juga ekonom dari Jamaika. Wapres AS terpilih ini memiliki adik bernama Maya. Berprofesi sebagai advokat kebijakan publik.

Banyak pihak berharap Wapres Kamala Harris mampu berkontribusi besar pada kebijakan politik Presiden Joe Biden, kelak. Terutama terkait dengan hak-hak minoritas dan imigran.

Semua itu sekadar harapan. Ending opini ini hanya bermaksud menyatakan, bahwa suhu (guru) demokrasi pun bisa “panas-dingin” dalam kontek kontestasi pemilu. Tak ada beda dengan negara-negara berkembang yang juga demokratis. Jadi, tidak perlu kagum berlebihan. (Yunanto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed