oleh

Eksistensi Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Aset Negara Ditinjau dari Perspektif Hukum Perbendaharaan Negara

-artikel-11,455 views

Detik Bhayangkara.com, Demak – Berkaitan dengan eksistensi tentang hukum atas hak pengelolaan dan pemanfaatan barang milik negara, awak media konfirmasi kepada Andy Maulana selaku Auditor dan Konsultan Tata Usaha Negara ( Bidang Tata Pemerintahan RI) yang belum dipahami oleh kalayak umum atau masyarakat awam.

Dengan pertanyaan tersebut di atas, Andy Maulana menerangkan bahwa dari kedua konsep hukum, yaitu Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah, dalam perspektif hukum perbendaharaan negara tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai sumber primer dalam hukum perbendaharaan negara.

Hal yang menjadi fokus utama dalam pembahasan bagian ini adalah berkaitan dengan pengamanan tanah negara supaya tidak beralih kepemilikannya kepada pihak ketiga, mengingat bahwa baik Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara adalah konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga secara de facto menguasai tanah negara.

Undang-Undang Perbendaharaan Negara, dalam bagian Penjelasan Umum mencantumkan bahwa paradigma yang dianut dalam pengaturan barang- barang milik negara adalah paradigma untuk mencegah terjadinya peralihan kepemilikan barang-barang milik negara, termasuk tanah, kepada pihak lain.

Paradigma ini dapat ditelusuri sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perbendaharaan Negara.

Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien.

Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi; perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.

Dengan paradigma pengamanan tersebut, Pasal 49 ayat (1) Undang- Undang Perbendaharaan Negara juga turut mengatur bahwa setiap barang milik negara/daerah berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.

Tentunya pengaturan dalam Pasal tersebut turut menjelaskan bahwa paradigma pengamanan barang milik negara yang dianut dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara secara teknis diwujudkan dengan pensertifikatan tanah negara.

Pengaturan serupa juga ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Perbendaharaan Negara.

Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa kewajiban untuk mensertifikatkan tanah negara masuk dalam salah satu tahapan ruang lingkup pengelolaan barang milik negara/daerah, yaitu pada tahapan pengamanan dan pemeliharaan.

Tahapan pengamanan, dalam Pasal 43 ayat (1) PP ini juga kembali ditegaskan diwujudkan dengan pensertifikatan tanah negara.

Tahapan ini merupakan salah satu saja dari sekian tahapan-tahapan lainnya yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah.

Masuknya pengamanan terhadap tanah negara ini menjadi sangat berkaitan dengan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang menjadi satu kesatuan tahapan dalam pengelolaan barang milik negara, sebagaimana dipahami sebelumnya, bahwa Pemanfaatan ( Aset) Barang Milik Negara juga menitik beratkan pada pengamanan barang milik negara, yaitu dibuktikan dengan adanya ketentuan “tidak mengubah status kepemilikan” dalam Pemanfaatan Barang Milik Negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara yang berbunyi,”Pemanfaatan BMN dilakukan dengan tidak mengubah status kepemilikan BMN.” Ketentuan tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara sangatlah menitik beratkan pada pengamanan barang milik negara, dalam hal ini berupa tanah, dan mencegah terjadinya peralihan kepemilikan tanah negara tersebut kepada pihak ketiga.

Hal ini ternyata berbeda dengan pengaturan berkaitan dengan Hak Pengelolaan yang senyatanya membuka kemungkinan dapat beralihnya kepemilikan tanah negara kepada pihak ketiga.

Hak Pengelolaan memungkinkan pemegangnya untuk menyerahkan tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dalam bentuk 3 (tiga) macam hak atas tanah, yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya. Selengkapnya pendapat Urip Santoso tersebut adalah sebagai berikut :

Hak atas tanah yang lahir dari penyerahan tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, yang menetapkan bahwa bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diberikan kepada pemegang haknya dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan.

Ketentuan yang membuka kemungkinan bahwa pihak ketiga dapat menjadi pemilik tanah hak pengelolaan yang notabene merupakan tanah negara merupakan ketentuan yang sangat bertentangan dengan pengaturan yang ada di dalam hukum perbendaharaan negara yang menghendaki adanya pengamanan terhadap setiap tanah negara.

Perkembangan selanjutnya melalui diundangkannya Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya dinyatakan tidak berlaku lagi.

Berbeda dengan ketentuan normatif tersebut, dalam kenyataannya pihak-pihak pemegang hak pengelolaan tetap memberlakukan ketentuan yang terdapat dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 1977 yang telah dicabut tersebut dikarenakan sumirnya pengaturan yang ada di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999, sehingga menyebabkan banyak kekosongan hukum dan sulit untuk diimplementasikan.

Hak Pengelolaan sangatlah rawan dan mudah untuk dipolitisasi karena eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Pertanahan Nasional terkesan dipaksakan, sehingga menjadi hak semu yang tidak jelas landasan hukumnya. Pelepasan tanah negara kepada pihak ketiga dalam Hak Pengelolaan juga terkesan lebih mudah dilakukan dan oleh karenanya sangat bertentangan dengan paradigma pengamanan barang milik negara yang dianut dalam hukum perbendaharaan negara.

Pelepasan tanah negara kepada pihak ketiga dalam Hak Pengelolaan cukup dilakukan oleh pemegang hak pengelolaan, sedangkan dalam hukum perbendaharaan negara pelepasan tanah negara haruslah dengan persetujuan dari DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf “a” Undang-Undang Perbendaharaan Negara.

Mekanisme yang ditetapkan dalam hukum perbendaharaan negara tersebut tentu lebih sesuai dengan paradigma pengamanan benda milik negara jika dibanding dengan mekanisme pelepasan tanah dalam Hak Pengelolaan.

Persetujuan DPR merupakan mekanisme pengawasan dan dapat menghindarkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh instansi penguasa tanah negara. Berbeda dengan mekanisme tersebut, mekanisme pelepasan tanah Hak Pengelolaan yang tidak memerlukan persetujuan DPR adalah mekanisme yang dapat membuka lebar penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami dengan jelas bahwa eksistensi Hak Pengelolaan dan Pemanfaatan Barang Milik Negara apabila ditinjau dari perspektif hukum perbendaharaan negara adalah kondisi yang tidak ideal. Ketidak idealan ini sangat jelas tampak karena paradigma yang dianut dalam hukum perbendaharaan negara, yaitu pengamanan terhadap setiap barang milik negara, dalam hal ini tanah negara, tidaklah dapat terwujud dengan baik karena justru eksistensi Hak Pengelolaan memungkinkan adanya pengalihan kepemilikan tanah negara kepada pihak ketiga.

Kondisi dimungkinkannya peralihan tanah negara kepada pihak ketiga ini tentu sangatlah merugikan negara dan sangatlah kontraproduktif di tengah kondisi maraknya penguasaan tanah negara oleh pihak ketiga seperti saat ini.

Sedangkan saat ini Pemerintah baru menjalankan usaha- usaha untuk kembali mengamankan tanah-tanah negara yang dikuasai oleh pihak ketiga tersebut.

“Beberapa data menyatakan bahwa banyak tanah negara tengah dikuasai oleh pihak ketiga diantaranya, penguasaan tanah Sekretariat Negara seluas 17 ha (Kontan, 2015), penguasaan 22.000 ha tanah negara di kawasan Puncak oleh pihak ketiga secara illegal, dan penguasaan lahan tambang BUMN oleh pihak swasta,” ungkapnya. ( Tarso)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed