Detik Bhayangkara.com, Koltim – Belum lama ini santer diberitakan terkait dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Kasubag perencanaan Sri Asih terkait pemberian sejumlah uang oleh kepala desa Atolanu (Idris).
Hal ini telah berujung pada pelaporan atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh yang bersangkutan (Sri Asih). Sebab jika dilihat dari Perspektif Hukum, pernyataan yang dibuat oleh Idris sebagai kades Atolanu tidak memenuhi unsur pemerasan. Malah dianggap justru sebaliknya, Sri Asih jadi korban pencemaran nama baik yang diduga dirancang oleh rekan sejawatnya sendiri.
Menurut pengakuan kades Atolanu yang dihubungi via telefon selulernya, tujuannya diminta membuat surat pernyataan pemberian dana tersebut agar Sri Asih dapat dipindahkan dari jabatannya. Namun Ia tidak mengira bahwa surat pernyataan tersebut akan terpublish seperti yang terjadi sekarang ini.
“Saya kira bahwa surat pernyataan tersebut hanya untuk sekedar diperlihatkan kepada Pimpinannya (Kepala Inspektorat) , supaya dengan adanya surat pernyataan tersebut Sri Asih dapat dipindahkan dari jabatannya. Saya bahkan tidak pernah menyangka jika surat pernyataan tersebut akan ditayangkan (dipublikasikan),” ungkap Idris.
Ia juga mengaku, bahwa surat tersebut dibuat lalu diserahkan kepada auditor yang bernama SADAR.
Masih menurut Idris, Setelah berita dugaan pemerasan ditayangkan oleh salah satu media Online, Idris mendatangi salah seorang tokoh masyarakat yang berada di kelurahan Rate-Rate, dan ternyata SADAR pun sudah berada di tempat tersebut. Tujuan kedatangan Idris untuk mempertanyakan perihal keterlibatannya dalam masalah tersebut, namun mereka meyakinkan bahwa Idris tidak akan terlibat sebab itu bukan sogok menyogok.
Apabila diamati dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Idris sama sekali tidak akan melakukan tindakan yang terkesan menjebak/menjatuhkan tersebut, tanpa ada ajakan maupun perintah dari pihak lain.
Berdasarkan telaahan terbatas kami penjebakan/pencemaran nama baik pada kasus ini mengindikasikan adanya niat jahat dari luar diri pelaku, dan hal yang perlu diperhatikan disini adalah untuk mengukur terjadinya suatu perbuatan pidana, niat jahat timbul harus sejak adanya permulaan perbuatan dan niat jahat tersebut harus timbul dari internal diri pelaku perbuatan, bukan dari dorongan dari luar (hasutan/perintah/tekanan).
Demikian pula jika dilihat dari pernyataan Sri Asih di beberapa media yang membantah telah menerima uang sejumlah yang disangkakan terhadapnya serta langkah-langkah yang ditempuhnya dimana yang bersangkutan telah melaporkan kejadian ini ke Polres Kolaka, adalah bukti bahwa dirinya merasa dijebak dalam masalah ini.
Yang menjadi dasar pelaporan tersebut adalah adanya kejanggalan yang terdapat pada surat pernyataan Kades Atolanu tersebut sehingga Sri Asih berasumsi bahwa itu merupakan jebakan/pencemaran nama baik baginya. Adapun yang menjadi bahan pertimbangan pelaporannya adalah :
– Surat pernyataan tersebut tidak dibubuhkan tempat, waktu, serta tidak memuat saksi-saksi, dimana menurut kaidah tata naskah yang benar merupakan suatu hal yang wajib dalam pembuatan surat pernyataan.
– Penerima yang dituduhkan tidak bertanda tangan dalam surat pernyataan tersebut. Yang artinya surat tersebut bukanlah pernyataan tanda terima uang melainkan sebuah pernyataan sepihak.
Penjebakan memang sangatlah rentan dengan rekayasa, dan teknik ini secara umum memengaruhi kehendak dari pelaku untuk melakukan perbuatan, dan perbuatan pidana tidak akan terjadi apabila tidak ada kondisi yang secara sengaja diciptakan yang merupakan esensi/latar belakang dari penjebakan itu sendiri. Dan untuk dapat menyatakan seseorang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dibuktikan adanya perbuatan dan niat jahat dari pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut.
“HUKUM MELIHAT BUKTI, BUKAN KETERANGAN sebab BUKTI ADALAH PEMENUHAN UNSUR”. (arpDB)
Komentar