Detik Bhayangkara.com, Batam – Kasus dugaan penimbunan bakau ilegal di kawasan Botania 1 kian memanas. Polda Kepri telah dua kali melayangkan panggilan terhadap Aseng, yang diduga sebagai dalang utama dalam proyek Cut and Fill yang tak berizin dari BPH BP Batam dan Dinas Lingkungan Hidup ( DLH ). Namun, hingga kini Aseng masih tak kunjung memenuhi panggilan.
Ketidakhadiran Aseng menimbulkan pertanyaan besar terkait ketegasan aparat dalam menangani kasus ini. Apakah hukum hanya tegas bagi rakyat kecil, tetapi tumpul bagi pengusaha yang diduga merusak lingkungan ?
Sejumlah elemen masyarakat dan aktivis lingkungan mulai bersuara lantang. Mereka menilai Polda Kepri terlalu lembek dalam menindak pelaku penimbunan bakau yang jelas – jelas melanggar aturan.
“Kalau masyarakat biasa yang melanggar pasti sudah ditangkap. Tapi kenapa dalam kasus ini, setelah dua kali dipanggil, Aseng masih bebas berkeliaran?,” ujar salah aktivis lingkungan yang enggan disebutkan namanya,, Jumat (4/2025).
Menurut aturan yang berlaku, setiap aktivitas cut and fill yang berdampak pada lingkungan wajib mengantongi izin resmi dari BPH BP Batam dan DLH. Namun dalam kasus ini, aktivitas tersebut dilakukan tanpa izin. Dampaknya ekosistem mangrove di kawasan Botania Satu terancam rusak parah, yang berimbas pada kerusakan lingkungan jangka panjang.
Masyarakat mendesak agar Polda Kepri segera mengambil langkah lebih tegas terhadap Aseng. Jika ia kembali mangkir dari panggilan berikutnya, aparat harus segera menerbitkan surat perintah penangkapan.
“Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap aparat semakin luntur. Jika hukum memang adil, maka siapapun yang melanggar harus ditindak tanpa pandang bulu,” tambah seorang warga Batam yang mengikuti perkembangan kasus ini.
Kini, semua mata tertuju pada Polda Kepri. Akankah mereka bertindak tegas untuk menegakkan hukum, atau kasus ini akan berakhir seperti banyak kasus lingkungan lainnya— mengendap tanpa kejelasan ? (bersambung). (Yanto Gultom)
Komentar