Praperadilan PT HAS Rontok Total, Negara Tegaskan Tambang Pasir Ilegal Bukan Bagian Perhutanan Sosial

headline18,029 views

Detik Bhayangkara.com, Jakarta – Upaya PT HAS untuk mengaburkan praktik penambangan pasir ilegal di kawasan hutan negara akhirnya kandas. Pengadilan Negeri Sidoarjo secara tegas menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan kuasa hukum korporasi tersebut, sekaligus menegaskan bahwa penetapan tersangka dan penyitaan alat berat oleh penyidik Kementerian Kehutanan adalah sah dan konstitusional.

Putusan pada Selasa (16/12) itu menjadi tamparan keras bagi pihak-pihak yang selama ini mencoba menunggangi skema perhutanan sosial untuk kepentingan tambang, khususnya di Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus–Perhutanan Sosial (KHDPK-PS) di Desa Luwihaji, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Kepala Balai Penegakan Hukum Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Aswin Bangun, menegaskan bahwa dalih apa pun tidak dapat membenarkan penggunaan alat berat dan aktivitas tambang di kawasan hutan negara.

“Pengadilan sudah memperjelas: KHDPK–Perhutanan Sosial tetap kawasan hutan negara. Bukan lahan bebas, bukan lahan tambang, dan tidak boleh dirusak atas nama apa pun,” tegas Aswin dari Jakarta.

Kasus ini mencuat setelah penyidik menemukan aktivitas penambangan pasir secara terang-terangan di areal KTH Bendo Rejo, kawasan yang seharusnya menjadi ruang kelola masyarakat untuk keberlanjutan hutan, bukan ladang eksploitasi sumber daya alam tanpa izin.

Fakta di lapangan menunjukkan, alat berat beroperasi tanpa izin berusaha dari pemerintah pusat, sebuah pelanggaran serius yang tidak hanya mencederai hukum kehutanan, tetapi juga mengkhianati semangat perhutanan sosial yang digadang sebagai instrumen pemerataan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Berdasarkan hasil penyelidikan dan gelar perkara, PT HAS disangka telah mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Alih-alih menghormati proses hukum, kuasa hukum PT HAS justru memilih jalur praperadilan dengan menggugat Menteri Kehutanan, Dirjen Gakkum Kehutanan, hingga Kepala Balai Gakkumhut Wilayah Jabalnusra.

Namun pengadilan tidak memberi ruang bagi upaya tersebut.

“Putusan ini adalah sinyal keras bahwa kriminalisasi kawasan hutan oleh korporasi tidak akan ditoleransi. Penyitaan alat berat dan penetapan tersangka korporasi harus dilanjutkan sampai pengadilan,” ujar Aswin.

Ia menegaskan, Kemenhut bersama Perhutani, pemerintah daerah, dan kelompok tani hutan akan memperketat pengawasan, agar perhutanan sosial tidak dijadikan kedok tambang ilegal yang merusak ekosistem dan merampas hak masyarakat.

Nada serupa disampaikan Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho, yang menyebut kemenangan praperadilan ini sebagai preseden penting dan peringatan terbuka bagi seluruh pelaku tambang ilegal di kawasan hutan.

“Perkara ini tidak berhenti di sini. Kami membuka peluang penggunaan instrumen hukum lain, termasuk penelusuran dampak kerusakan hutan yang lebih luas,” tegasnya.

Dwi menekankan, praktik pertambangan ilegal di kawasan hutan bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan ancaman langsung terhadap keselamatan ekologis dan kehidupan masyarakat sekitar hutan.

Putusan PN Sidoarjo ini sekaligus menegaskan satu pesan penting: perhutanan sosial bukan tameng hukum bagi korporasi, dan kawasan hutan negara bukan ruang kompromi bagi kepentingan tambang ilegal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *