Harapan Korban SP3 kepada Propam, Wasidik, dan Irwasda Polda Metro Jaya: Dugaan Cacat Formil dan Materiil Penghentian Penyidikan

daerah18,057 views

Detik Bhayangkara.com, Jakarta Selatan — Perjalanan panjang mencari keadilan dialami Khong Mellani Setiadi (69), seorang perempuan lanjut usia yang sejak tahun 2017 melaporkan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan ke Polres Metro Jakarta Selatan, namun perkaranya justru berujung pada Surat Penghentian Penyidikan (SP3) yang kini dipersoalkan keabsahannya.

Laporan tersebut tercatat dengan Nomor LP/732/K/V/2017/PMJ/Restro Jaksel, tertanggal 19 Mei 2017. Dalam perjalanannya, penyidik telah menerbitkan beberapa Surat Perintah Penyidikan, antara lain:

  • SP.Sidik/1091/IX/2017/Reskrim Jaksel (5 September 2017),
  • SP.Sidik/489/III/2019/Reskrim Jaksel (25 Maret 2019),
  • SP.Sidik/188/III/2021/Reskrim Jaksel (15 Maret 2021).

Korban juga menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor B/1519/IX/2017/Reskrim Jaksel tertanggal 5 November 2017. Namun secara mengejutkan, perkara tersebut kemudian dihentikan melalui Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor S.Tap/08/III/2021/Reskrim Jaksel tertanggal 15 Maret 2021.

Diduga Cacat Identitas Pelapor

Keputusan SP3 ini menuai sorotan tajam. Syarifuddin, SH, SHI, MH, MSI merupakan rekan korban sekaligus praktisi hukum, mengaku heran setelah meneliti dokumen perkara. Ia menilai SP3 tersebut cacat secara formil, khususnya dalam pencantuman identitas pelapor.

Dalam SP3, identitas korban disebut lahir di Tangerang, 7 April 1975, tanpa mencantumkan alamat dan pekerjaan. Padahal, berdasarkan KTP resmi Dukcapil, identitas korban tercatat jelas:

  • Nama: Khong Mellani Setiadi
  • Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 11 Februari 1956
  • Pekerjaan: Mengurus Rumah Tangga
  • NIK: 3171045102560002
  • Masa Berlaku: Seumur Hidup

“Ini kesalahan yang sangat fatal. Identitas pelapor adalah elemen mendasar dalam surat ketetapan hukum. Jika identitas saja keliru, bagaimana mungkin kesimpulan hukum dapat dianggap sah,” tegas Syarifuddin.

Dugaan Penipuan oleh Oknum Notaris

Dalam perkara ini, terlapor disebut sebagai seorang Notaris/PPAT, yang seharusnya memahami secara mendalam hukum perjanjian dan perikatan. Namun faktanya, korban mengaku diminta menyerahkan perhiasan bernilai puluhan miliar rupiah tanpa perjanjian tertulis, hanya bermodalkan janji-janji yang belakangan diduga palsu.

Korban tidak pernah dilibatkan dalam proses apa pun terkait perhiasan tersebut. Bahkan, hubungan hukum antara korban dan terlapor disebut tidak pernah ada dalam bentuk perjanjian kerja atau perikatan sah.

Korban juga mengaku telah melayangkan somasi, namun tidak pernah ditanggapi. Lebih jauh, korban menyebut pernah mengalami penganiayaan verbal dan fitnah, dengan kata-kata merendahkan seperti “miskin” dan “gembel”, sementara aset perhiasannya tidak kunjung dikembalikan.

Tak Pernah Ada Konfrontasi dan Penyitaan Barang Bukti

Yang semakin memperkuat dugaan kejanggalan, hingga SP3 diterbitkan:

  • Korban tidak pernah dikonfrontir dengan terlapor,
  • Barang bukti perhiasan tidak pernah disita,
  • Penyidik menyatakan perkara “tidak cukup bukti”, meski unsur pidana Pasal 378 dan/atau Pasal 372 KUHP dinilai terpenuhi oleh pihak korban.

Ironisnya, baru pada Desember 2025, setelah korban datang bersama kuasa hukum ke Polres Metro Jakarta Selatan, penyidik menyerahkan foto berwarna perhiasan serta surat penggadaian, yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan.

Desakan Gelar Perkara Khusus

Atas dasar tersebut, korban kini telah melapor ke Propam Polri, serta mendatangi Polres Metro Jakarta Selatan untuk meminta Gelar Perkara Khusus. Korban juga meminta pendampingan dari sejumlah ahli hukum pidana, guna menguji keabsahan SP3 yang dinilai cacat formil dan materiil.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Polres Metro Jakarta Selatan.

Harapan kepada Presiden dan Kapolri

Korban berharap perhatian serius dari Presiden Republik Indonesia, melalui Kapolri, serta Kompolnas dan Tim Reformasi Polri, agar perkara ini dibuka kembali dan hasil dugaan kejahatan segera disita.

“SP3 ini tidak hanya melukai rasa keadilan korban, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap penegakan hukum,” ujar pihak pendamping hukum korban.

Korban menegaskan, pemberitaan ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk mengungkap kembali perkara yang diduga kuat tidak dihentikan sesuai prosedur KUHAP, KUHP, dan Perkap Kapolri, demi tegaknya keadilan substantif bagi masyarakat, khususnya bagi Khong Mellani Setiadi, korban SP3 yang hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum. (Tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *