By: Asri Alam Andi Baso*)
Detik Bhayangkara.com, Koltim – Jelang pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 ini khususnya di Kab. Kolaka Timur, Jargon Anak Koltim kembali ramai jadi bahan perbincangan dalam diskusi-diskusi politik. Tagline Anak Koltim menjadi primadona oleh sebagian penggiat politik untuk dijadikan jualan dan aktif digaungkan oleh beberapa bakal calon.
Apa sesungguhnya pengertian istilah Anak Koltim tersebut?, dan apakah jualan jargon “Anak Koltim” akan kembali seefektif pada pilkada 2020 kemarin?. Melalui opini singkat ini saya mencoba membahas hal tersebut, yang tentu saja dalam perspektif subyektifitas pribadi yang memungkinkan munculnya berbagai pro dan kontra.
Tagline Anak Koltim bermula muncul dalam pilkada Koltim 2020 dimana salah satu kandidat pada saat itu mengusung jargon “SBM Anak Koltim” yang pada akhirnya kemudian berhasil memenangkan pilkada dengan spektakuler mengalahkan petahana.
Sebuah prestasi luar biasa sang penantang dalam menumbangkan petahana yang telah berhasil mencengkram kan kuku kekuasaan yang sudah menggurita di birokrasi selama kurang lebih tujuh tahun.
Secara politik, jargon Anak koltim digunakan oleh pasangan SBM dalam Pilkada Koltim 2020 dimaksudkan untuk merangsang sentimen emosi masyarakat agar lebih memiliki kepedulian kepada daerahnya Kolaka Timur, bagaimana menjadikan Kolaka Timur sebagai salah satu DOB di jazirah Prov.
Sulawesi tenggara dapat lebih maju, rakyatnya sejahtera dan sejajar dengan daerah-daerah lainnya dengan dipimpin oleh Anak Koltim sendiri. Isu Anak Koltim digaungkan untuk memberikan harapan kepada masyarakat bahwa ketika dipimpin oleh orang lokal maka pemimpin tersebut dapat lebih memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan daerahnya. Issue Anak Koltim mencoba menarik garis pemisah antara anak daerah – luar daerah dengan asumsi anak daerah akan lebih peduli dibandingkan orang luar. -tentu pemikiran tersebut sebenarnya sangat subyektif, dan dapat memicu topik perdebatan yang lebih panjang.
Pada pilkada Koltim 2020, jargon Anak Koltim terbukti efektif secara politis dimana berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh AGILE PARTNER Research and Consulting , Isu Anak Koltim memberikan kontribusi sekitar 44,9% dalam mempengaruhi preferensi pilihan masyarakat. -walau- Keberhasilan isu Anak Koltim dalam pilkada Koltim 2020, sebenarnya juga tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; Pertama, sosok figur H. Samsul Bahri Madjid dan Ibu Hj. Andi Merya Nur dinilai sebagai tokoh lokal yang merakyat dan telah membuktikan kontribusi sosialnya ditengah-tengah masyarakat koltim sehingga ada harapan besar ketika terpilih mereka mampu membawa perubahan dan memimpin daerah menjadi lebih baik.
Kedua, ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan (petahana) dalam pembangunan khususnya menyangkut banyaknya infrastruktur jalan yang rusak dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Dan ketiga, adalah karakter pribadi dan keluarga petahana -yang memang sebelumnya bertempat tinggal di daerah lain- dinilai cenderung elitis dan sombong, Samsul Bahri yg sebelumnya sebagai pejabat birokrasi dan Andi Merya sebagai wakil Bupati dinilai telah dizalimi oleh calon petahana yang memicu lahirnya simpati secara luas dimasyarakat.
Ketiga faktor diatas menjadi suplemen issue Anak Koltim semakin menggaung ditingkat masyarakat bawah, kemudian secara politis, Issue Anak Koltim berhasil membuat garis pemisah antara orang daerah dan orang luar dalam menumbuhkan sentimen solidaritas kedaerahan yang tinggi.
Pengertian istilah Anak Koltim sendiri sebenarnya menjadi sebuah paradoks dan diartikan serta ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kepentingan politik masing-masing, baik secara kelompok maupun orang perorang.
Ada yang mengartikan Anak Koltim adalah seluruh penduduk yang bertempat tinggal, memiliki rumah atau telah ber KTP Koltim tanpa memandang apakah dia pendatang atau bukan, ada pula yang mengartikan Anak Koltim adalah mereka yang lahir dan besar di Koltim, dan ada lagi mengartikan Anak Koltim adalah penduduk Asli pribumi atau yang orang tuanya, kakek, nenek adalah pribumi baik yang masih tinggal maupun yang berada di daerah lain. Dan mungkin masih banyak lagi pengertian dan tafsiran lain yang berbeda-beda.
Berbagai pengertian dan tafsiran yang berbeda-beda tersebut tentu saja memiliki dasar pembenarannya masing- masing dan tidak bisa disalahkan karena memang belum ada definisi baku tentang pengertian “Anak Koltim” itu sendiri yang telah disepakati secara bersama-sama. Saya juga selaku penulis tidak ingin terjebak dalam paradoks pengertian Anak Koltim dengan mencoba menarik sebuah kesimpulan dari berbagai pengertian yang berbeda-beda tersebut, biarlah perbedaan pengertian yang ada menjadi khasanah dan wacana bagi kita masing-masing dalam merefleksikan diri memberikan kontribusi dalam pembangunan daerah yang kita cintai ini.
Yang pasti, ketika merasa sebagai anak koltim maka kita juga harus menanamkan rasa tanggung jawab untuk daerah ini.
Sisi lain, Issue Anak Koltim sebenarnya oleh sebagian dinilai primordial dan tidak relevan dalam konteks demokrasi dan nasionalisme dimana dengan ke-Indonesia-an yang bhineka tunggal Ika (nasionalisme), maka orang Sumatra, orang Jawa, orang Kalimantan, orang Papua -dan banyak lagi suku lainnya- dapat mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah di daerah kita meski KTP-nya bukan Koltim sepanjang dicalonkan dan memenuhi persyaratan yang ada, -apatah lagi kalau sang calon memang KTP-nya Koltim hanya kebetulan sukunya Jawa, Bali, Bugis, tolaki misalnya. Sebagai warga negara semua memiliki hak politik yang sama. Politik identitas tidak lagi memiliki tempat dan dinilai sebagai musuh demokrasi. Tapi saya tidak panjang lebar dan tidak ingin masuk dalam pertentangan Nasionalisme versus primordialisme karena menurut saya primordialisme adalah bagian dari kebhinekaan itu sendiri, kebanggan sebagai bangsa Indonesia tidak akan pernah ada ketika kita tidak bangga sebagai Orang Kolaka Timur.
Berikutnya, apakah jualan jargon “Anak Koltim” akan sama seefektif pilkada yang lalu pada pilkada Koltim 2024 yang akan datang?, Menjawab ini mungkin membutuhkan survey khusus, karena kondisi sosio kultural serta perilaku dan perspektif politik masyarakat bisa jadi jauh berbeda dengan pilkada lima tahun sebelumnya, terlebih lagi mengingat pengalaman pahit pemerintahan pasca meninggalnya Bupati terpilih dan peristiwa OTT terhadap Ibu Andi Merya sebagai Bupati pengganti, masih meninggalkan trauma mendalam bagi sebagian masyarakat. Tetapi paling tidak belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya dan pilkada-pilkada daerah lain khususnya di Sulawesi Tenggara, Jualan issue anak daerah – luar daerah masih akan jadi issue primadona dalam politik.
Berdasarkan pengalaman pilkada sebelumnya dan perilaku politik yang dapat diamati, Di Koltim sendiri, -mohon maaf tidak bermaksud rasis-, penentuan figur calon kepala daerah akan banyak mempertimbangkan dua suku mayoritas yang mendiami daerah ini yakni Tolaki – Bugis, kalau calon Bupatinya suku Tolaki biasanya calon Wakilnya adalah Suku Bugis, begitupun sebaliknya kalau calon Bupatinya suku Bugis maka calon wakil bupatinya adalah suku Tolaki. Begitupula dari sisi kewilayahan, Koltim di dikotomi kan menjadi Utara-Selatan, dimana wilayah Utara meliputi Ladongi, poli-polia, dangia, aere dan lambandia, sementara wilayah selatan meliputi, loea, tirawuta, lalolae, mowewe, tinondo, uluiwoi dan ueesi. Biasanya pasangan calon akan dipersonifikasikan perwakilan dari kedua wilayah tersebut. Realitas politik seperti ini tentu bukan sesuatu yang salah, bahkan dalam pentas politik nasional untuk memilih presiden misalnya juga terjadi, istilah Jawa – luar Jawa, sipil – militer, atau nasionalis – religius, selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pasangan calon, disamping tentu track record dan modal sosial sang calon.
Menghindari issue-issue primordial dalam kontestasi pemilihan menurut saya adalah hal yang niscaya, namun demikian memenangkan pilkada juga bukan hanya sekedar bagaimana menjual Issue, issue hanyalah salah satu variabel dalam upaya mempengaruhi persepsi pilihan, tetapi yang lebih penting adalah merencanakan sebuah strategi pemenangan yang komprehensif dan dijalankan secara sungguh- sungguh di lapangan oleh team work yang memiliki militansi tinggi.
Yang pasti, pemilu dan pilkada adalah pesta rakyat, yang kesemuanya bermuara untuk kesejahteraan rakyat. Kontestasi politik yang seringkali memicu kerawanan sosial ditengah-tengah masyarakat perlu disikapi dengan bijak, olehnya dibutuhkan kedewasaan dalam berpolitik. Adagium bahwa dalam politik tak ada kawan yang sejati dan tak ada lawan yang abadi ada benarnya, karena itulah realitas politik yang selama ini kita saksikan, maka tidak perlu menciptakan musuh, berbeda pandangan, berbeda pilihan adalah hal yang biasa, tetapi silaturrahmi, persaudaraan harus tetap kita jaga. Insya Allah koltim akan semakin maju.
Hayo… Menurut anda petahana atau penantang ???
Penulis: *) Sekretaris/LO Tim Pemenangan SBM Pilkada 2020.
Komentar