——————— ✍
Wartawan tidak boleh salah tulis dalam berkarya jurnalistik. Kesalahan sekecil apa pun. Misal, salah meletakkan tanda baca koma, titik, titik koma, tanda tanya, tanda seru dan tanda petik.
Fatal bila wartawan salah menuliskan kata depan, kata awalan, kata sambung, kata sandang dan kata baku. Tidak cukup hanya piawai merangkai kata menjadi kalimat.
Wartawan pun wajib paham asas paragraphing. Pertautan harmonis antar-paragraf. Tidak hanya agar enak dibaca. Lebih dari itu, agar pemahaman komunikan terhadap isi pesan terwujud seperti yang dikehendaki komunikator. Wartawan wajib bisa itu semua.
Tiga alinea “pesan” tersebut di atas selalu saya kenang hingga kini, kendati sudah 40 tahun berlalu. Diucapkan oleh Ras Gading Siregar, dosen mata kuliah Bahasa Indonesia Jurnalistik, di Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.
Saya dan teman-teman sealmamater menjuliki kolumnis Harian KOMPAS itu “Mr. Killer“. Semua mahasiswanya mengamini putra Batak itu sebagai dosen “killer” (“pembunuh” tidak dalam pengertian harafiah).
Tidak ada satu pun mahasiswa yang bisa lulus mata kuliahnya hanya 3 – 4 kali her (ujian ulang). Sangat banyak yang belasan kali her, baru dinyatakan lulus. Mau protes? Jelas percuma.
Semula saya sempat tidak suka. Bahkan benci pada “Mr. Killer”. Begitu pun teman-teman. Betapa tidak, 10 nomor soal ujian, sembilan jawaban benar. Hanya satu soal salah jawab. Itu pun “hanya” salah meletakkan tanda baca koma. Hasilnya? “Mr. Killer” memutuskan tidak lulus!
Tentu, saya protes. Tidak sendiri. Banyak teman yang “hanya” salah jawab satu, dua, tiga nomor, juga divonis tidak lulus. Galibnya, tidak ada nilai ujian tujuh, delapan atau sembilan. Lulus ujian berarti nilai 10.
“Anda bisa lulus, jika seratus persen jawaban benar. Kelak, bagaimana Anda bisa jadi wartawan berkualitas baik, jika tidak bisa terbebas dari salah tulis?” kata “Mr. Killer” landai-landai saja.
Beberapa tahun berlalu, saya dan banyak teman sealmamater pun berkiprah di dunia jurnalistik. Kami menyebar di berbagai media massa. Di jagat kerja jurnalis itulah akhirnya kami sadar dan yakin, “Mr. Killer” sungguh telah berbuat benar dalam mendidik kami.
Saya pribadi tidak hanya merasa bersalah, tapi juga merasa berdosa pada “Mr. Killer”. Telah berprasangka buruk dan sempat membenci Bapak Guru yang bijak bestari tersebut. Duh!.
Andai Pak Ras Gading Siregar tidak hadir sebagai dosen “killer” mata kuliah Bahasa Indonesia Jurnalistik, entahlah. Boleh jadi, saya menjadi jurnalis yang berbahasa jurnalistik seenak saya. Tidak mengindahkan kaidah, mencampakkan norma, merendahkan etika, mencibir estetika.
Kini, setelah 40 tahun berlalu, saya mengenang “Mr. Killer” sebagai Bapak Guru yang baik. Dosen bijak bestari. Semoga bersemayam dalam damai di sisi Allah Mahapengasih. (Yunanto)
Komentar