Detik Bhayangkara.com, Kabupaten Bojonegoro – Dugaan praktik busuk “tangkap-lepas berbayar” dalam penanganan kasus judi online yang menyeret oknum di Polres Bojonegoro kini menjelma menjadi sorotan publik serius. Bukan sekadar isu, rangkaian informasi yang diterima redaksi justru mengarah pada dugaan pola sistematis yang diduga telah berlangsung lama dan berulang.
Kasus ini mencuat setelah empat terduga pelaku judi online berinisial Dian, Toti, Aris, dan Jarno, warga Desa Semanding, Kecamatan Semanding, Bojonegoro, dikabarkan diamankan oleh Unit Pidana Umum (Pidum) Satreskrim Polres Bojonegoro sekitar dua minggu lalu. Namun, alih-alih diproses hukum sebagaimana mestinya, keempatnya justru disebut dilepaskan hanya satu hari setelah penangkapan.
Informasi yang diterima redaksi menyebutkan, pembebasan tersebut diduga disertai uang tebusan Rp10 juta per orang. Fakta ini memantik kecurigaan luas, terlebih setelah sejumlah warga menyampaikan kesaksian yang mengindikasikan praktik serupa terjadi berulang kali.
“Jumlahnya bukan cuma empat orang. Di waktu yang hampir bersamaan bisa sampai sekitar 20 orang. Polanya sama, ditangkap, lalu pulang. Uang tebusannya beda-beda,” ungkap seorang warga kepada redaksi.
Sumber tersebut bahkan menantang Propam Polri untuk turun langsung ke lapangan jika ingin mengetahui kebenaran dugaan ini.
“Kalau mau bukti, datang saja ke Desa Prangi. Sekitar seminggu lalu ada empat orang lagi yang ditangkap. Sebulan sebelumnya warga Tambakrejo juga mengalami hal yang sama,” tegasnya.
Yang lebih mencengangkan, modus dugaan praktik ini disebut melibatkan kepala desa sebagai perantara. Setelah ditangkap, para terduga pelaku disebut meminta bantuan kepala desa setempat, yang kemudian diduga berkoordinasi dengan oknum aparat kepolisian untuk membahas transaksi uang pembebasan.
Skema ini, jika benar, bukan lagi sekadar pelanggaran etik individual, melainkan mengarah pada dugaan kejahatan terstruktur yang mencoreng marwah penegakan hukum.
Atas informasi tersebut, awak media kembali meminta klarifikasi kepada Kanit I Pidana Umum Satreskrim Polres Bojonegoro, Ipda Michael Manansi. Namun hingga berita ini dipublikasikan, tidak ada satu pun tanggapan diberikan. Sikap bungkam ini justru memperkuat kecurigaan publik akan adanya persoalan serius yang sengaja ditutup rapat.
Keanehan semakin nyata ketika di penghujung tahun 2025, Polres Bojonegoro menggelar konferensi pers akhir tahun pada 29 Desember 2025. Dalam forum resmi itu, Kapolres Bojonegoro AKBP Afrian Satya Permadi menyatakan bahwa sepanjang tahun 2025 hanya terdapat lima perkara judi online.
Pernyataan tersebut kini dipertanyakan secara terbuka oleh masyarakat. Jika dugaan tangkap-lepas berbayar benar terjadi dan jumlah pelakunya disebut jauh lebih banyak, maka muncul pertanyaan mendasar:
Ke mana perginya puluhan kasus lain? Mengapa para terduga pelaku yang disebut bebas dengan uang tebusan tidak pernah tercatat dalam data resmi kepolisian?
Publik menilai, perbedaan mencolok antara data resmi dan fakta lapangan ini berpotensi mengindikasikan adanya manipulasi penanganan perkara demi kepentingan tertentu.
Kasus ini kini menjadi ujian nyata bagi komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam membersihkan institusi Polri dari praktik mafia hukum, khususnya di tengah gencarnya pemberantasan judi online yang kerap digaungkan ke publik.
Masyarakat mendesak Propam Polri, Irwasum, dan Mabes Polri untuk segera turun tangan, mengaudit penanganan perkara judi online di Polres Bojonegoro, serta membuka secara transparan seluruh data penangkapan dan pelepasan pelaku.
Diamnya aparat justru akan memperkuat dugaan bahwa hukum bisa dibeli, dan keadilan hanya berlaku bagi mereka yang tak punya uang. (Red)












